Butiran bubuk salju di dedaunan cemara memantulkan sinar matahari musim dingin Hakuba, prefektur Nagano, Jepang, pada akhir Januari 2017.
Langit pagi itu cerah saat kereta gantung mulai mengantarkan satu-per satu pemain ski ke puncak pegunungan Alpen Jepang. Jejak tapak sepatu bot dan papan ski terukir sepanjang lintasan permainan di Resor Ski Hakuba Goryu.
Sebagian pengunjung asyik saling bercengkerama di bangku kayu sembari menyeruput secangkir cokelat panas. Sebagian lain masih harus berdiri menahan embusan angin dingin demi mengantre tiket kereta gantung.
Resor Hakuba Goryu, sebagaimana empat resor lain di Hakuba, ramai akan wisatawan olahraga ski dan papan seluncur salju saat musim dingin. Tetapi, pariwisata musim dingin di kawasan pegunungan Alpen Jepang menghadapi tantangan serius yaitu pemanasan global.
Direktur Utama Resor Ski Hakuba Goryu Hideki Ito mengatakan pada musim dingin sebelumnya resornya mulai buka pada akhir November. Sedangkan pada musim dingin 2016, resornya dibuka mulai pertengahan Desember.
"Kami harus menambah mesin-mesin pembuat salju bubuk agar para pengunjung pemula tetap dapat menikmati ski di lereng-lereng gunung. Jumlah salju di lereng gunung seringkali menurun drastis," ujarnya sembari menunjuk sebuah tiang biru besar bercorong di ujungnya.
Resor ski Hakuba Goryu juga menyediakan jasa penyewaan alat-alat ski, kereta gantung atau gondola, restoran, penjualan cinderamata, dan pelatihan bermain ski. Pendapatan utama resor-resor ski di Hakuba diperoleh dari jasa gondola yang mengantarkan para pemain ski dari lereng gunung ke puncak-puncak pegunungan Alpen Jepang.
Pendapatan kedua ditopang oleh restoran. Resor ski di Hakuba Goryu juga menyediakan sebuah restoran dan tempat peristirahatan yang berada di salah satu puncak pegunungan. Harga makanan di restoran puncak itu pun tidak berbeda dengan harga makanan di resor utama, bahkan di restoran lain di Hakuba.
Pelatihan bermain ski juga menyumbang porsi yang cukup besar bagi pendapatan Hakuba Goryu. Terdapat tiga loket antrian jika pengunjung ingin berlatih bermain ski. Tiga loket itu dipisah berdasarkan bahasa yang dikuasai pengunjung yaitu loket berbahasa Jepang, loket berbahasa Inggris, dan loket berbahasa Mandarin.
Selain itu, mayoritas resor-resor ski di Hakuba juga membuka area bermain ski pada malam hari mulai pukul 17.00 hingga 20.30 waktu setempat. Para pemain ski yang telah mahir mendominasi kunjungan ski malam di Hakuba. Bagi pengunjung yang tidak dapat bermain ski, resor-resor itu juga menawarkan permainan lain seperti olahraga sepeda salju, motor salju, perahu salju, hingga pendakian gunung salju.
"Para pengelola resor ski di sini masih saling bersaing untuk menarik para pengunjung, baik dari Jepang maupun wisatawan asing. Semestinya kami berkolaborasi untuk meningkatkan jumlah wisatawan ke Hakuba dibanding bersaing antara sesama resor," ujar Ito.
Para pelaku industri pariwisata di Hakuba tidak sekedar memikat para wisatawan asing dengan kegiatan olahraga salju. Pemandian umum air panas atau onsen juga menjadi magnet bagi turis mancanegara.
Sebagian dari kami, peserta program JENESYS 2016, mencoba salah satu onsen di desa Hakuba, yaitu Kurashitanoyu. Layaknya sebuah pondok penginapan di Jepang, dinding bangunan onsen itu terbuat dari kayu.
Kurashitanoyu mulai menggali sumber mata air panas yang mengandung garam dan besi itu pada 1993. Kemudian pada 1994, pemandian air panas itu dibuka untuk umum. Waktu operasional pemandian umum itu tujuh hari penuh dalam sepekan mulai pukul 10.00 hingga 22.00 waktu setempat.
Mata air panas itu rata-rata bersuhu 48 derajat Celcius sehingga sangat sesuai untuk mengimbangi suhu musim dingin Hakuba yang berkisar antara -6 derajat Celcius hingga empat derajat Celcius.
Setiap pengunjung harus membayar tiket sebesar 600 yen jika ingin menikmati air panas yang dipercaya mampu meredakan stres dan menghilangkan pegal-pegal badan itu. Tetapi, Kurashitanoyu menetapkan harga tiket 300 yen bagi pengunjung anak-anak berusia tiga hingga 12 tahun.
Pesona Azumino
Bagai lebah yang tidak ingin kehilangan madu, para pelaku industri wisata Hakuba memanjakan pula para wisatawan dengan kunjungan ke sejumlah objek wisata lain di kota Azumino, masih di prefektur Nagano.
Rombongan kami dari Tanah Air melintasi jalanan berselimut es selama satu jam demi mengunjungi ladang wasabi Daio dan kastil Matsumoto. Bus berhenti di depan sebuah gedung berdinding hebel dan beratap asbes. "Shinsyu Azumino Daio wasabi," demikian spanduk yang menempel di tepi gerbang utama gedung berusia 99 tahun itu.
Wasabi, bumbu pelengkap makanan mie soba, tertanam di ladang yang dipenuhi kerikil dan dialiri air dingin jernih. "Tanaman wasabi tumbuh alamiah dengan air yang jernih. Kami tidak memakai pupuk ataupun pestisida," kata Kepala Humas Daio Wasabi Hama Shigetoshi.
Di atas lahan seluas 15 hektar itu, menurut Shigetoshi, Daio Wasabi mampu menghasilkan panen sebanyak 260 ton per dua tahun. "Sejak pembibitan hingga masa panen wasabi, kami butuh waktu selama dua tahun," kata lelaki berusia 72 tahun itu.
Angin beku yang bertiup di sela-sela ranting pohon Magnolia tidak menyurutkan Shigethosi mengiris batang wasabi di atas talenan sambil berdiri. "Ini, silakan coba," bujuknya kepada rombongan. "Untuk rasa yang lebih tajam, kami mengolah batang wasabi ini dengan memarutkannya ke kulit ikan hiu. Sekarang, coba rasakan perbedaannya," pria berbaju dan berkupluk hitam itu.
Lidah yang terbiasa dengan aneka cabai tropis Indonesia, seakan tidak menerima rasa wasabi mentah itu. "Wasabi punya khasiat untuk membunuh bakteri. Oleh karena itu, orang Jepang selalu mengoleskan wasabi ketika akan makan ikan mentah," katanya.
Ladang Daio Wasabi tidak mengenakan biaya kepada para pengunjung lahan pertaniannya. Shigetoshi mengatakan hasil panen mentah wasabi, pengolahan wasabi, dan penjualan aneka produk berbasis wasabi mampu mencukupi biaya operasional perusahaan swasta itu.
"Kami tidak menerima subsidi apapun dari pemerintah. Ladang ini milik keluarga Fukazawa. Sedangkan perusahaan Daio mengelola aspek pariwisata dan penjualan aneka produk makanan berbasis wasabi," kata pria sebelumnya bekerja sebagai editor lepas di Tokyo itu.
Berlokasi sekitar 16 kilometer di sisi selatan Daio Wasabi, bus rombongan kami beranjak ke obyek wisata sejarah, kastil Matsumoto. Kastil yang merupakan warisan budaya periode Edo Jepang itu kini menjadi lokasi wajib bagi setiap pelancong yang berlibur di prefektur Nagano.
Kastil yang dibangun pada 1504 dan digunakan hingga 1868 itu merupakan benteng pertahanan bagi penguasa feodal Kerabat Ogasawara dan kerabat Ishikawa dari gempuran musuh-musuh daerah lain.
Bagunan dengan julukan "Kastil Burung Gagak" itu dikelilingi parit lebar berisi air di luar halaman kastil. Parit itu menghalangi musuh yang akan masuk ke wilayah utama kastil.
Kastil dengan fondasi batu-batu besar dan rangka bangunan dari balok-balok kayu tua itu menampilkan aneka peninggalan kerajaan Tokugawa berupa senjata, pakaian perang, dokumen-dokumen feodal Jepang, hingga kendaraan pengangkut para bangsawan dan penguasa daerah pada zaman itu.
Kini, Kastil Matsumoto ramai dikunjungi orang-orang dari berbagai belahan dunia. Sebuah toko kecil menjajakan anek cenderamata berada tepat di muka kastil yang hampir musnah pada masa Restorasi Meiji itu.
Halaman kastil yang dulu sempat menjadi arena pembantaian dengan anak panah, peluru pistol, serta peluru mortir itu sekarang dipenuhi rerumputan dan aneka tanaman hias.
Sesekali tampak penduduk lokal sekedar berjalan-jalan bersama anjing mereka. Sedangkan para pengunjung dari luar negeri menikmati atmosfer kastil dan merekamnya melalui bidikan lensa kamera ponsel.
Matahari mulai surut, kembali ke pangkuan alam ketika rombongan kami memasuki bus yang berada di lapangan parkir di luar halaman kastil Matsumoto. Sore itu, sekitar pukul 15.00 waktu setempat, embusan udara dingin Nagano seakan menyuruh rombongan pulang ke pondok-pondok penginapan berpenghangat ruangan.
Walaupun pegunungan Alpen Jepang selalu berselimut dingin salju yang turun dari lantai-lantai surga Negeri Sakura, industri wisata Hakuba maupun daerah lain di prefektur Nagano tidak larut dalam kebekuan oleh bunga es.
Masyarakat Jepang memahami, "mesin-mesin" pemanggil wisatawan mereka masih layak dikumandangkan bukan hanya kepada pengunjung lokal, melainkan kepada turis mancanegara, terutama mereka yang tidak pernah menikmati surga salju di negara asalnya.
Oleh Imam Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017