Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyambut baik hasil penilaian Dana Moneter Internasional (IMF) terkait stabilitas perekonomian domestik sepanjang 2016, meskipun di sisi lain masih terdapat beberapa risiko global dan domestik yang tetap perlu dicermati.
"Indonesia dinilai IMF berhasil menjaga stabilitas makroekonomi dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal," ujar Agus yang juga Mantan Menteri Keuangan di Jakarta, Sabtu.
Bank Sentral, menurut Agus, berjanji untuk tetap mengelola stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan, sembari tetap mengupayakan pemulihan ekonomi domestik, di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Dalam pernyataan konsultasi artikel IV Dana Moneter Internasional untuk Indonesia, lembaga tersebut juga meyebutkan Indonesia masih menghadapi sejumlah risiko, namun prospek Indonesia secara umum adalah positif dan berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
IMF memerkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 tumbuh moderat di 5,1 persen, setelah pada 2016 tumbuh di kisaran lima persen. Meskipun demikian, IMF juga memprediksi terjadi kenaikan inflasi ke kisaran 4,5 persen pada akhir 2017 karena terimbas pengurangan subsidi listrik dan pemulihan harga komoditas.
Indikator ekonomi lainnya yang merekam transaksi barang dan jasa antara penduduk Indonesia dan mancanegara, yakni neraca transaksi berjalan, diperkirakan IMF mencatatkan defisit dua persen dari Produk Domestik Bruto, atau masih di rentang yang ditolerir oleh otoritas di Indonesia.
"Prospek untuk jangka pendek (near-term outlook) masih baik. Pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan tumbuh moderat di 5,1 persen ditopang kenaikan bertahap investasi swasta menyusul membaiknya komoditas, kemudian juga karena suku bunga rendah, dan pulihnya permintaan barang dari luar negeri yang disokong memabiknya kondisi perdagangan global." tulis IMF dalam pernyataannya.
Beberapa ekonom menyebutkan salah satu tantangan utama pemulihan ekonomi dalam negeri di 2017 adalah inflasi, yang dipicu kenaikan tarif barang yang diatur otoritas (administered prices).
Kepala Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi merevisi perkiraan inflasi pada 2017 dari sebelumnya 3,5 persen (yoy) menjadi 4 persen.
"Ada kemungkinan terjadi kenaikan administered prices tahun ini karena pemerintah dihadapkan pada tantangan menjaga defisit APBN. Dari sisi penerimaan, pemerintah berusaha meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk membantu penerimaan pajak," ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan tekanan inflasi lebih besar mungkin bisa datang dalam waktu dekat, dengan terus menanjaknya harga minyak mentah dunia, yang bisa memicu kenaikan harga bahan bakar minyak di dalam negeri.
"Kenaikan harga BBM bisa sangat sensitif sekali terhadap inflasi. Pada semester I 2017, tekanan untuk menaikkan harga BBM cukup tinggi," ujar dia.
Indef memperkirakan inflasi 2017 akan berada di 4-4,25 persen.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017