Canberra (ANTARA News) - Kendati popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY-JK) cenderung menurun, peneliti senior tentang Indonesia di Institut Lowy Australia, Ken Ward, justru melihat pasangan ini berpeluang besar untuk terpilih kembali sebagai presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2009. "Saat ini, Presiden Yudhoyono berprospek baik untuk terpilih kembali pada 2009. Beliau kemungkinan tetap memilih Jusuf Kalla sebagai pasangannya," kata Ward dalam artikelnya bertajuk "Dealing with a Democratic Indonesia: the Yudhoyono Years" yang dipublikasi Institut Lowy dan dikutip ANTARA Canberra, Selasa. Menurut analis politik yang sudah 20 kali mengunjungi Indonesia itu, perkiraannya tentang kemenangan Yudhoyono pada Pemilihan Presiden 2009 itu antara lain didasarkan pada asumsi Jusuf Kalla sendiri tidak akan mencalonkan diri sebagai kandidat dan dia tidak sepopuler Yudhoyono. "Kalla sendiri telah menepis ambisinya menjadi presiden atas dasar bahwa dia tidak dapat bersaing dengan Susilo Bambang Yudhoyono karena dia bukan orang Jawa. Faktanya, jajak pendapat tidak mendukung pandangan bahwa hanya orang Jawa yang dapat menjadi presiden terpilih. Alasan yang lebih jelas adalah Jusuf Kalla tidak sepopuler SBY," katanya. Sekiranya, Jusuf Kalla berani mencalonkan diri sebagai calon presiden pada 2009, maka hal itu justru menjadi taruhan yang berbahaya karena dia akan dengan mudah dianggap "tidak setia atau oportunis", kata akademisi Australia yang kini bekerja sebagai konsultan masalah terorisme dan politik Asia Tenggara itu. Ward lebih lanjut mengatakan, para politisi senior seperti Megawati Soekarnoputri dan Jenderal (Purn) Wiranto tidak akan mampu menyaingi pasangan SBY-JK, sehingga "ditantang oleh muka-muka lama seperti ini, SBY-JK tidak punya kekhawatiran yang besar." Selain itu, dalam dua tahun mendatang, kecil kemungkinan muncul para pemimpin baru di Indonesia yang memiliki prospek besar untuk memenangi Pemilihan Presiden 2009, kata Ward yang pernah menjadi analis senior tentang Indonesia di Kantor Asesmen Nasional (ANA) Australia selama delapan tahun sejak 1996 itu. Kelebihan lain Presiden Yudhoyono adalah bahwa dia tetap seorang nasionalis sebagaimana telah ia tunjukkan kepada Australia dalam kasus pemberian visa menetap sementara bagi 42 pencari suaka asal Papua tahun lalu, namun "memiliki hubungan personal yang mudah dengan para pemimpin Barat", katanya. Mengenai Indonesia selama kepemimpinan SBY-JK, Ward mengemukakan negara demokratis dengan penduduk Muslim terbesar di dunia itu masih menghadapi sejumlah masalah pembangunan yang parah, seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. "Kendati Indonesia telah mencapai dasar-dasar ekonomi makro yang kuat, namun belum tampak bahwa Indonesia yang demokratis ini sudah dapat mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti di era Soeharto," katanya "Lebih dari itu, belum juga jelas apakah program desentralisasi yang telah diterapkan beberapa tahun terakhir ini akan dapat mempercepat atau justru memperlambat pertumbuhan ekonomi," katanya. Datangnya bencana alam dan kecelakaan transportasi yang bertubi-tubi dengan jumlah korban yang tinggi semakin menunjukkan "betapa Indonesia itu merupakan negara yang tidak mudah dikelola", katanya. Bagi Australia, kata Ward, pemahamannya terhadap Indonesia yang semakin kompleks perkembangannya ini harus tetap besar. Namun, di tengah dinamika Indonesia yang sedemikian rupa, justru semakin sedikit orang Australia yang tertarik pada studi tentang Indonesia dibandingkan di masa lalu. "Tampaknya, penerbitan peringatan perjalanan ke Indonesia (oleh Pemerintah Australia-red) semakin menambah ketidakpopuleran Indonesia sebagai subyek studi," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007