Yogyakarta (ANTARA News) - Indonesia harus membayar mahal perjanjian kerjasama ekstradisi Republik Indonesia-Singapura yang ditandatangani di Bali, Jumat (27/4). "Singapura lebih banyak diuntungkan, terutama dalam hal daerah latihan militer bersama," kata dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Riza Noer Arfani, di Yogyakarta, Selasa. Menurut dia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus melakukan proses politik sebagai uji publik terhadap kesepakatan itu. "DPR harus mengkaji secara mendalam, tidak dengan serta merta meratifikasi perjanjian tersebut," katanya. Staf Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM ini mengatakan bahwa uji publik oleh DPR diharapkan membuat pemerintah memperbaiki pasal-pasal yang merugikan Indonesia dalam perjanjian itu. "Tetapi sepertinya konstelasi politik di DPR akan mendukung lancarnya ratifikasi karena dukungan Partai Golkar dan Partai Demokrat," katanya. Kalaupun kesepakatan itu lolos diratifikasi DPR, kata dia, maka pelaksanaannya harus terus-menerus dipantau, baik oleh DPR, media, mahasiswa, LSM, dan masyarakat. Ia menambahkan perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singpura itu masih perlu dipertanyakan keefektifannya. "Implementasi dari kesepakatan tentang ekstradisi masih akan mengalami banyak hambatan," kata dia. Menurut dia, hambatan pertama adalah teknis dalam pelaksanaannya, yaitu tidak adanya "database" yang jelas tentang orang-orang yang diburu. "Perlu penataan ulang 'database' karena daftar ini sangat diperlukan dalam upaya penangkapan para buronan ," katanya. Ia mengatakan hambatan yang kedua adalah panjangnya langkah yang nantinya harus dilalui dalam pelaksanaan ekstradisi. "Orang-orang yang menjadi buronan bukanlah orang bodoh, mereka sudah berpengalaman mencari celah untuk lolos dari jerat hukum," katanya. Selain itu, banyak langkah hukum yang masih bisa mereka lakukan sebelum ekstradisi. "Ekstradisi hanya di satu sisi, di sisi lain masih ada sistem hukum yang bisa menyelamatkan mereka," kata dia. Menanggapi salah satu poin dalam perjanjian ekstradisi itu bahwa pihak ketiga seperti Amerika Serikat (AS) boleh melakukan latihan perang di salah satu wilayah dua negara ini, Riza berpendapat hal ini bisa mengancam kedaulatan Indonesia. "Omong kosong jika Panglima TNI bilang bahwa hal itu tidak menggangu kedaulatan bangsa," katanya. Selain itu, kata dia, jika hal tersebut terjadi, Indonesia yang semula merupakan negara netral akan dianggap dunia sebagai negara yang bersekutu dengan AS. Jangan sampai perjajian ini hanya menjadi dagangan politik bahwa pemerintah telah melakukan sesuatu, katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007