Jakarta (ANTARA News) - Koruptor Indonessia yang berada di Singapura sangat mungkin melarikan diri ke negara lain, seperti China dan Kanada, selama proses ratifikasi ketentuan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura dalam aturan hukum masing-masing negara masih berlangsung, kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. "China dan Kanada berpotensi menjadi tujuan para koruptor," katanya, di Jakarta, Selasa. Menurut Hikmahanto, pemerintah Indonesia sebenarnya juga menyadari bahwa China dan Kanada adalah pilihan lain bagi para koruptor untuk berlindung. Kesadaran pemerintah itu, katanya, terwujud dalam pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum lama ini. "Hal itu menunjukkan seperti sudah ada penelitian sebelumnya," katanya. Para koruptor, lanjut Hikmahanto, akan bertindak cermat untuk menyelamatkan diri, termasuk tidak akan melarikan diri ke negara yang memiliki kepentingan terhadap Indonesia. Dicontohkannya, para koruptor tidak akan menyimpan aset ataupun melarikan diri ke Amerika Serikat (AS), karena negara itu sangat berkepentingan terhadap pemberantasan jaringan terorisme yang ada di Indonesia. Kepentingan AS menyebabkan negeri 'Paman Sam' itu akan bersikap lunak, termasuk dalam ekstradisi koruptor, demi merebut hati Indonesia supaya sepaham dengan agenda AS dalam memberantas terorisme. Lebih lanjut Hikmahanto mengatakan penandatanganan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura bukanlah langkah akhir dalam usaha penangkapan para koruptor. Penandatanganan masih harus melalui serangkaian tahap sebelum akhirnya diratifikasi dalam bentuk UU oleh pemerintah dan parlemen masing-masing negara. "Paling tidak satu atau dua bulan lagi," katanya. Selama menunggu proses ratifikasi, menurut dia, koruptor Indonesia yang berada di Singapura dapat mencuri peluang untuk melarikan diri ke luar 'Negeri Singa' itu. Kalaupun mereka tidak melarikan diri, mereka dapat terhindar dari proses hukum jika Singapura tidak segera meratifikasi perjanjian ekstradisi ke dalam UU. Senada dengan Hikmahanto, Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri, Irjen Pol Drs Sisno Adiwinoto, mengatakan sudah seharusnya pemerintah dan polisi Singapura bersikap kooperatif terhadap inisiatif Indonesia untuk menindak pelaku tindak pidana yang berada di negeri itu. Hal itu dikatakan Sisno terkait tidak lancarnya kerja sama penanganan kejahatan keuangan dan ekonomi dengan Singapura, karena kepolisian Singapura kurang kooperatif untuk mengungkap kejahatan dalam bidang tersebut. Indonesia dan Singapura segera memiliki jalinan kerjasama dalam bidang ekstradisi dan pertahanan setelah ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) yang meliputi Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan. Penandatanganan dilakukan oleh menteri luar negeri dan menteri pertahanan kedua negara dengan disaksikan oleh kepala pemerintahan masing-masing negara di Istana di Istana Tampak Siring, Bali (27/4). Perundingan bagi perjanjian ekstradisi mulai dilakukan 2005, dan kesepakatan antara kedua belah pihak dicapai dalam pertemuan tingkat menteri di Singapura. (*)
Copyright © ANTARA 2007