Tokyo (ANTARA News) - Indonesia berharap Jepang merevisi kebijakan tenaga kerja yang berlaku di negara tersebut dan memberikan kesempatan lebih terbuka bagi masuknya tenaga kerja asing, menyusul persoalan struktur masyarakat Jepang yang didominasi kalangan lanjut usia. "Kebijakan tenaga kerjanya sudah saatnya berubah dan bisa menampung tenaga kerja muda usia dari negara tetangga di sekitarnya, terutama dari Indonesia," kata Duta Besar RI untuk Jepang Jusuf Anwar di Tokyo, Senin. Dubes mengatakan hal itu saat berbicara dalam sarasehan menyambut 50 tahun hubungan Indonesia-Jepang. Diskusi juga dihadiri Indonesianis dari Sophia University, Prof. Murai Yoshinori dan tokoh LSM serta politisi dari Indonesia Ro`fi Munawar. Tahun 2008, hubungan Indonesia - Jepang memasuki usia ke-50 dalam hubungan diplomatik kedua negara. Indonesia dan Jepang sama-sama mensosialisasikan hubungan emas tersebut dalam berbagai kegiatan kebudayaan, olahraga dan beragam pameran. Tidak seimbangnya antara komposisi besarnya masyarakat usia lanjut dengan usia tenaga kerja produktif di masyarakat Jepang, ujar Jusuf Anwar, bagaimanapun akan memunculkan persoalan yang tidak bisa dibendung. UU keimigrasian Jepang tergolong ketat dalam menerima kedatangan warga asing, khususnya bagi yang tidak memiliki ketrampilan. Indonesia, menurut mantan menteri keuangan itu, juga perlu mengambil manfaat dari keadaan tersebut sehingga tercipta kerja sama yang saling menguntungkan. Misalnya dengan mengirimkan tenaga terampil seperti perawat, yang dapat mengurusi masyarakat usia lanjut tersebut. Jepang memang memiliki program kerja sama dengan negara-negara tetangganya, di Asia untuk memberikan pelatihan dan ketrampilan yang dikenal dengan sebutan program magang. Namun belakangan Jepang sendiri mengeluhkan kecenderungan yang terjadi karena semakin maraknya sistem magang yang diberikan itu dijadikan "pintu masuk" bagi organisasi pengerah tenaga magang menjadi pengerah tenaga kerja murah di Jepang. Jitco, lembaga yang mengurusi program magang di Jepang itu melihat munculnya beberapa kasus, seperti kaburnya peserta magang dan justru bekerja di perusahaan yang menawari gaji lebih besar ketimbang yang ditawarkan program tersebut. Sementara itu, beberapa pandangan menyebutkan, kaburnya peserta magang sebetulnya tidak bisa lepas dari kondisi di Jepang sendiri yang membutuhkan pekerja kasar dalam menghidupi kegiatan industrinya, sehingga mendorong timbulnya tenaga kerja ilegal.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007