"Angka ini menurun sebesar 0,003 poin jika dibandingkan dengan gini rasio pada Maret 2016 sebesar 0,397 dan menurun 0,008 poin jika dibandingkan gini rasio pada September 2015 sebesar 0,402," kata Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu.
Suhariyanto menjelaskan faktor yang berpengaruh terhadap perbaikan tingkat ketimpangan pengeluaran selama periode September 2015-September 2016 adalah karena kenaikan pengeluaran perkapita per bulan penduduk kelompok 40 persen terbawah dan 40 persen menengah yang meningkat lebih cepat dibandingkan penduduk kelompok 20 persen teratas.
"Kenaikan pengeluaran per kapita September 2015-September 2016 untuk kelompok penduduk 40 persen terbawah, 40 persen menengah dan 20 persen teratas, berturut-turut adalah sebesar 4,56 persen, 11,69 persen dan 3,83 persen," jelasnya.
Menurut Suhariyanto, kenaikan pengeluaran penduduk 40 persen menengah ini sejalan dengan penguatan ekonomi penduduk kelas menengah terutama bagi mereka yang bekerja di sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Menguatnya perekonomian ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk bekerja dengan status berusaha sendiri atau dibantu pekerja tidak dibayar yang merupakan kelompok terbesar pada kelas menengah sebagai dampak dari kondusifnya pengembangan UMKM," katanya.
Suhariyanto memastikan penguatan perekonomian ini juga terlihat dari peningkatan jumlah pekerja yang berusaha sendiri maupun dibantu pekerja tidak dibayar dari 37,7 juta per Agustus 2015 menjadi 39,5 juta per Agustus 2016.
"Untuk lapangan usaha industri pengolahan, konstruksi, perdagangan dan angkutan, peningkatannya jauh lebih tinggi lagi yaitu sebesar 9,44 persen dari 18 juta per Agustus 2015 menjadi 19,7 juta per Agustus 2016," ungkapnya.
Selain itu, kenaikan pengeluaran kelompok bawah tidak lepas dari upaya pembangunan infrastruktur padat karya dan beragam skema perlindungan dan bantuan sosial di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan lainnya yang dijalankan pemerintah.
BPS juga mencatat gini rasio di daerah perkotaan sebesar 0,409 atau turun dibandingkan periode Maret 2016 sebesar 0,410 dan September 2015 sebesar 0,419. Sedangkan, gini rasio di daerah perdesaan sebesar 0,316 atau turun dibandingkan periode Maret 2016 sebesar 0,327 dan September 2015 sebesar 0,329.
Sementara itu, provinsi yang mempunyai nilai gini rasio tertinggi tercatat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu 0,425, sedangkan yang terendah tercatat di Provinsi Bangka Belitung sebesar 0,288.
Terdapat delapan provinsi yang memiliki angka gini rasio lebih tinggi dari angka nasional 0,394 yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta 0,425, Gorontalo 0,410, Jawa Barat 0,402, Jawa Timur 0,402, Papua Barat 0,401, Sulawesi Selatan 0,400, Papua 0,399 dan DKI Jakarta 0,397.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017