"Terhadap temuan kasus antraks di Kabupaten Kulon Progo tentunya perlu disikapi dengan berbagai langkah. Khusus di Yogyakarta yang bukan menjadi daerah peternak sapi, maka fokus utama pengawasan adalah pada produk ternaknya," kata Epidemiologis Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta Putut Djoko Purnomo di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, pengawasan terhadap produk ternak bisa dilakukan melalui Rumah Potong Hewan Giwangan Yogyakarta yang melakukan penyembelihan sapi untuk kemudian dijual di pasar-pasar tradisional di Kota Yogyakarta.
Petugas di Rumah Potong Hewan Giwangan, lanjut dia, harus melakukan pemeriksaan terhadap seluruh ternak yang akan dipotong guna memastikan bahwa ternak dalam kondisi sehat dan dagingnya layak dikonsumsi.
"Namun, jika daging sudah dalam bentuk daging potong, maka akan sulit mengenali daging dari sapi yang sehat dan tidak sehat. Oleh karena itu, Rumah Potong Hewan Giwangan memiliki peran yang penting guna memastikan bahwa daging dalam kondisi sehat dan layak konsumsi," katanya.
Selain pengawasan pada produk daging, upaya pencegahan penularan atau penyebaran antraks bisa dilakukan dengan mengoptimalkan pengawasan terhadap lalu lintas ternak.
"Kami menilai pengawasan lalu lintas ternak belum optimal. Banyak pedagang yang memilih melalui jalan tikus untuk menghindari pemeriksaan. Setiap hewan ternak yang akan dijual ke luar daerah harus dilengkapi dengan surat keterangan sehat," katanya.
Sementara itu, Kepala Seksi Pengawasan Mutu Komoditas dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Pangan Kota Yogyakarta Endang Viniarti mengatakan tidak pernah terjadi kasus antraks di Kota Yogyakarta.
"Harapannya jangan sampai terjadi di Kota Yogyakarta. Tetapi, kami tidak boleh lengah dan harus tetap waspada," katanya.
Meskipun bukan menjadi daerah peternakan sapi, namun di Kota Yogyakarta terdapat dua kelompok peternak sapi yang berada di Kecamatan Kotagede dan Kecamatan Tegalrejo dengan jumlah sekitar 100 ekor sapi.
"Kami sudah memiliki grup di media sosial untuk memudahkan komunikasi. Jika ada kejadian apapun, misalnya hewan sakit mendadak, maka peternak langsung bisa berkomunikasi melalui grup ini. Nantinya, akan ada petugas yang diterjunkan ke lapangan untuk mengecek," katanya.
Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam pencegahan antraks, lanjut Endang, adalah lalu lintas perdagangan ternak yang seringkali tidak dilengkapi dengan surat kesehatan hewan.
"Dulu, untuk menjual hewan ternak seperti sapi membutuhkan surat keterangan dari kelurahan. Tetapi sekarang sudah tidak lagi. Yang pasti, setiap hewan harus membawa surat keterangan kesehatan," katanya.
Sedangkan di RPH Giwangan, setiap hari disembelih sekitar 13 hingga 15 ekor sapi.
"Sapi yang akan disembelih diterima paling lambat pada pukul 18.00 WIB setiap hari agar petugas memiliki waktu yang cukup untuk memantau kesehatan sapi," katanya.
Ia pun memastikan bahwa setiap sapi yang akan disembelih sudah melalui pemeriksaan sebelum disembelih dan sesudah disembelih.
"Meskipun tidak ada kesepakatan, jagal pun sudah mengerti untuk sebisa mungkin tidak menyembelih sapi atau ternak dari daerah endemik antraks," katanya.
Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017