"Saya rasa kalau sekarang kebobolan, sesuatu yang sudah berulang, (artinya) kita kebobolan, tentu ada yang salah kan dalam seleksi ya," kata Menkopolhukam Wiranto seusai rapat terbatas di Istana Bogor, Jabar, Selasa.
Patrialis ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman agar permohonan uji materi Perkara No 129/PUU-XIII/2015 tentang UU Nomor 41 Tahun 2014 Peternakan Dan Kesehatan Hewan agar dikabulkan MK.
Mantan politikus PAN itu baru diangkat sebagai hakim konstitusi pada 2013, menggantikan Akil Mochtar yang dicopot dari jabatannya.
Akil dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus penerimaan suap dalam pengurusan 10 sengketa pilkada di MK dan tindak pidana pencucian uang. Akil divonis seumur hidup.
"Sebab seleksi itu kan menentukan yang terbaik, tatkala hasil seleksi ternyata tidak yang terbaik, berarti ada yang salah dalam seleksi," tambah Wiranto.
Dari pelajaran tersebut menurut Wiranto, maka pemerintah akan mengevaluasi kembali sistem seleksi hakim konstitusi usulan pemerintah.
"Kita mencoba untuk mengevaluasi kembali sistem seleksinya, jangan-jangan sistem seleksi yang salah. Dan kalau salah kenapa tidak diperbaiki? Ke depannya jangan begitu lagi," tambah Wiranto.
Menurut Wiranto, untuk seleksi hakim konstitusi selanjutnya akan dilaksanakan secara terbuka.
"Harus terbuka dong. Itu kan satu lembaga yang keputusannya final mengikat, sembilan orang, berarti itu kan sesuatu yang sangat urgen, sangat vital dalam kehidupan hukum nasional. Jadi figur-figur yang dipilih itu masyarakat harus tahu, siapa, latar belakangnya bagaimana tidak langsung muncul begitu," ungkap Wiranto.
Wiranto pun mengakui bahwa Presiden Joko Widodo mendukung pemilihan hakim konstitusi usulan pemerintah dengan sistem terbuka.
Patrialis Akbar menjadi hakim MK usulan Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono No 87/P Tahun 2013 tertanggal 22 Juli 2013 yang berisi pemberhentian dengan hormat Achmad Sodiki dan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi.
Presiden SBY lalu mengangkat kembali Maria dan juga Patrialis untuk menggantikan Achmad.
Dalam Pasal 18 UU MK diatur bahwa hakim konstitusi diajukan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden, masing-masing tiga orang.
(D017/A013)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017