Palangka Raya (ANTARA News) - Puluhan buruh dari dua perusahaan perkebunan kelapa sawit grup Matahari Kahuripan Indonesia melakukan aksi tutup mulut dan mogok makan sebagai upaya memperjuangkan hak-hak normatif yang sampai sekarang belum dipenuhi perusahaan.
Aksi ini juga sebagai upaya melawan intimidasi dan tindakan kekerasan yang dilakukan manajemen PT Mukti Sawit Kahuripan, dan PT Surya Inti Sawit Kahuripan, kata koordinator Wilayah Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Kalteng Hatir Sata Tarigan saat mendampingi aksi para buruh di Palangka Raya, Selasa.
"Dua perusahaan itu tidak hanya berbuat sewenang-wenang kepada ratusan buruh, tapi juga memaksa dan mengintimidasi agar mengakhiri hubungan kerja tanpa uang pesangon. Ini sudah tidak benar dan harus dilawan. Jadi, aksi mogok para buruh ini akan terus dilakukan sampai waktu yang tidak ditentukan," tambahnya.
Polemik ratusan buruh dengan dua perusahaan grup Makin yang beroperasi di Kabupaten Kotim ini telah berlangsung sejak tahun 2016. Berbagai upaya Bipartit dan Tripartit telah dilakukan, namun polemik ini tak kunjung selesai malah semakin ricuh bahkan memakan korban.
Hatir yang juga mantan Anggota DPRD Kota Palangka Raya itu mengatakan, aksi telah belasan kali dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak para buruh. Bahkan, tiga buruh PT SISK yang ikut berjuang mendapatkan hak-hak normatifnya mendapat perlakuan kurang baik dan mengalami kekerasan fisik.
"Setelah kita mencari berbagai informasi, ternyata perusahaan kelapa sawit tergabung di grup Makin banyak yang bermasalah dan berbuat sewenang-wenang terhadap buruh. Tidak hanya di Kabupaten Kotim, tapi juga di Barito Utara, bahkan Palembang," bebernya.
Dia mengatakan, polemik buruh dengan dua perusahaan grup Makin bermula ketika ada perubahan kebijakan secara sepihak dari manajemen, yakni sistem kerja pemanen dan pemuat tandan buah kelapa sawit ditambah namun tidak didukung peningkatan penghasilan.
Perubahan itu mulai dari sistem kerja pemanen dan pemuat meningkatkan beban kerja tapi tak diiringi peningkatan penghasilan atau gaji. Di mana pemanen berbasis janjang, ancak dan waktu borongan tonase dengan harga Rp74 per kg, namun karena kebun kurang terawat maka tidak mendapatkan hasil.
Kemudian buruh pemuat dengan sistem lama apabila buah telah mencapai 4 ton akan mendapatkan upah sebesar Rp91.000 namun berubah menjadi Rp48.000, sehingga dengan produktivitas yang sama selisih diterima pekerja berkisar Rp43.106.
"Tindakan perusahaan grup Makin ini harus segera dihentikan. Apabila memungkinkan, boikut produksi dari Perusahaan bersangkutan. Pemerintah juga harus bertindak tegas terhadap perusahaan yang berlaku sewenang-wenang terhadap buruh," demikian Hatir.
Pewarta: Jaya Wirawana Manurung
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017