Hal tersebut disampaikan Galuzin dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Selasa, sehubungan dengan pembicaraan presiden kedua negara melalui telepon yang ingin bekerja sama dalam memberantas terorisme di seluruh dunia.
"Meski pun kami memiliki prioritas dan tujuan yang sama untuk menghancurkan ISIS atau terorisme, tapi saya belum menerima kabar Rusia akan menerapkan kebijakan seperti Amerika tersebut," tutur Galuzin.
Dia menjelaskan, Rusia memiliki arah dan sistem kebijakan sendiri yang sudah lama berlaku dan hingga saat ini tidak ada petunjuk dari pemerintah untuk mengubah hal tersebut.
Kerja sama Rusia dan Amerika dalam memerangi terorisme mencakup tindakan militer dan intelijen, dengan tujuan utamanya adalah memukul mundur kelompok-kelompok militan ISIS di Suriah dan lain sebagainya.
"Jika berbicara soal memerangi terorisme, Rusia dan Amerika bekerja sama mencakup aksi militer dan intelijen, tetapi tidak dengan menerapkan kebijakan demikian," ujar Galuzin.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang mengatur larangan masuk bagi warga dari tujuh negara mayoritas Muslim yakni Suriah, Iran, Irak, Yaman, Sudan, Somalia, dan Libya selama 90 hari ke depan serta penundaan penerimaan pengungsi selama 120 hari.
Kebijakan presiden yang dilantik pada 20 Januari tersebut turut berlaku bagi para pemegang Kartu Hijau atau "Green Card" dari ketujuh negara yang dimaksud.
Keputusan yang ditandatangani Trump pada Jumat pekan lalu itu juga mempengaruhi nasib para pengungsi, menyebabkan banyak orang ragu apakah mereka dapat memasuki Amerika Serikat atau tidak.
Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017