Jakarta (ANTARA News) - Menciptakan kedaulatan pangan bagi rezim yang berkuasa di negeri ini menjadi penting karena sejarah mencatat sebelum dan setelah berdirinya Indonesia, kedaulatan pangan (terutama beras) memengaruhi berhasil-tidaknya penguasa yang pernah memerintah tersebut.
Banyak faktor yang dapat mendasari keberhasilan kebijakan swasembada pangan di Indonesia. Dari sisi produsen, yaitu petani, yang memiliki rasionalitasnya sendiri terkait dengan pemilihan untuk menanam tanaman pangan atau lainnya. Hal itu sangat tergantung pada seberapa besar proyeksi surplus yang akan mereka dapatkan ketika memanen nantinya.
Jika pada rezim Orde Baru, para petani beras memiliki pola jadwal tanam yang hampir sama. Ketika panen raya, suplai beras surplus melebihi kebutuhan penduduk. Namun, ketika era Reformasi, para petani (baik pemilik ataupun penyewa) memiliki kebebasan untuk menanam apa yang mereka mau dan kapan. Produksi beras menjadi tidak merata karena tidak ada pola tanam yang teratur di antara petani.
Rasionalitas petani untuk menanam tanaman pangan juga dipengaruhi oleh harga input tanaman pangan serta kebutuhan hidup harian para petani dan keluarganya dan ekspektasi harga jual hasil tanam mereka atau nilai tukar petani (NTP).
Pada bulan November 2016, misalnya, terjadi penurunan indeks NTP petani, terutama di subsektor pertanian pangan sebesar 0,4 dari NTP pada bulan sebelumnya. Besarnya penurunan NTP petani di subsektor tanaman pangan lebih dipengaruhi oleh kenaikan harga-harga kebutuhan rumah tangga dan input tanam.
Pada suatu penelitian di kota Madiun, setidaknya terdapat enam pihak yang terlibat dalam distribusi beras dari petani hingga konsumen. Pihak-pihak tersebut adalah tengkulak, penggilingan (baik besar maupun kecil), Bulog, pedagang besar, pedagang, dan pengecer.
Setiap pihak dalam rantai distribusi memengaruhi harga beras yang berdasarkan pada biaya produksi, perolehan input, dan persaingan di antara distributor sendiri. Hubungan ini dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Dalam hal ini tengkulak dapat berperan sebagai pemilik penggilingan serta pedagang beras besar, tergantung pada kekuatan modal mereka.
Setiap areal pertanian memiliki hasil dan kualitas yang berbeda-beda sehingga harga gabah yang dibeli oleh para tengkulak ini akan berbeda-beda. Perbedaan kualitas juga menentukan ke mana gabah yang telah menjadi beras ini kemudian dijual apakah cukup untuk konsumsi di kota terdekat atau dijual kepada pedagang besar yang memiliki jangkauan pemasaran yang lebih jauh lagi (secara geografis) dan menjadi produk premium.
Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, disebutkan bahwa perubahan harga produk beras di Pasar Induk Cipinang yang berasal dari Jawa Barat pada bulan November 2014, perolehan gabah kering giling di tingkat petani adalah sebesar Rp4.500,00 per kilogram. Namun, ketika telah menjadi beras dan sampai di pasar-pasar rakyat di Jabodetabek, harga beras telah mencapai Rp9.400,00 per kg atau terjadi perubahan harga sekitar 109 persen.
Pada jalur distribusi itu, perubahan terbesar terjadi di penggilingan beras. Di tempat ini memperoleh GKG sebesar Rp5.400,00 yang didapat dari pengepul (tengkulak kecil), kemudian setelah menjadi beras, penggilingan dapat menjual dengan harga Rp8.100,00 per kg. Di sini terjadi perubahan harga sebesar 56 persen dari harga GKG yang didapat dari pengepul. Hal yang sama juga terjadi di Jawa Timur. Perubahan harga dari tingkat petani hingga pengecer beras sekitar 100 persen.
Peran Pemerintah
Peran pemerintah dalam meningkatkan NTP adalah dengan menjaga inflasi tetap stabil sehingga tidak berdampak buruk pada kesejahteraan rumah tangga petani. Selain itu, intervensi dan perlindungan dari pemerintah terkait dengan kebijakan pertanian tanaman pangan memang sangat penting, seperti peningkatan produktivitas petani, menjaga harga input, dan produk panen petani.
Kebijakan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dari sisi suplai adalah dengan menekan biaya distribusi barang dan jasa, energi, serta mempercepat akses informasi.
Pembangunan infrastruktur dasar, elektrifikasi, kondisi mantap jalan nasional, pengembangan jalan baru, pengembangan jalan tol, pengembangan panjang jalur kereta api, pengembangan pelabuhan, "dwelling time" pelabuhan, pengembangan bandara, dan kabupaten/kota yang dijangkau "broadband".
Selain itu, dapat mempercepat arus distribusi barang jasa sekaligus menurunkan biaya distribusi. Di sisi lain keterbukaan informasi melalui konektivitas "broadband", juga diharapkan dapat berdampak pada penurunan harga-harga. Baik konsumen maupun produsen akan mendapatkan informasi yang sama terkait dengan barang dan jasa yang mereka tawarkan dan konsumsi.
Di sisi lain, kebijakan ketahanan energi yang selama ini memberikan pengaruh terhadap biaya administrasi, seperti perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik diharapkan dapat terselesaikan.
Kebijakan pengurangan subsidi di sektor energi secara cepat memengaruhi perubahan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat yang ditandai oleh kenaikan inflasi.
Produk pangan menjadi yang pertama mengalami penaikan ketika kebijakan pengurangan subsidi energi oleh Pemerintah. Di samping karena energi menjadi salah satu faktor input pertanian pangan, juga memberikan pengaruh pada input distribusi produk pangan, seperti kenaikan biaya angkutan.
Kenaikan harga produk pangan juga akan memberikan pengaruh pada perubahan kesejahteraan rumah tangga petani. Untuk itu, memang pemerintahan Jokowi-JK melihat dan merasa penting untuk mencapai target kebijakan yang dirumuskan dalam Nawacita secara simultan. Jika terjadi perubahan harga-harga input, seperti energi, pengaruhnya tidak sedalam ketika infrastruktur dasar dan keterbukaan informasi belum terbangun dengan baik.
Koordinasi Antarkementerian
Sebagian di antara masyarakat menilai Kementerian Pertanian sangat bertanggung jawab terhadap produk pertanian pangan hingga hulu. Bahkan, ketika stok tanaman pangan melimpah dan tidak terserap pasar hingga menjatuhkan harga-harga produk pertanian, fokus ditimpakan pada Kementerian Pertanian yang notabene hanya memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Namun, setelahnya juga terdapat peran kementerian dan lembaga yang mengurusi tata niaga tanaman pangan. Hal ini menjadi sangat penting untuk membangun koordinasi yang baik antarkementerian dan lembaga.
Selain itu, sangat perlu memiliki integrasi data mengenai produksi pangan dalam negeri terkait dengan perkiraan panen, panen, dan stok beras, serta harga di pasar.
Kebijakan impor beras yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan, misalnya, selalu menimbulkan polemik. Padahal, memang tanggung jawab Kementerian Perdagangan adalah untuk menjamin stok pangan nasional tercukupi dengan harga yang stabil, sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014.
Pemerintah sendiri melalui Bulog memang hanya memiliki "market share" sebesar 10 persen, sisanya alur distribusi beras melalui mekanisme pasar yang dikuasai oleh tengkulak, penggilingan, pedagang besar, hingga pengecer.
Pertanyaan mendasar yang keluar adalah kenapa masih ada kebijakan stabilisasi harga beras melalui impor ketika stok beras 90 persen dapat dipenuhi dari dalam negeri?
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, dalam kurun waktu 1999-2014, sebanyak 96,7 persen kebutuhan beras dalam negeri dipasok oleh produksi dalam negeri.
Apa yang membuat tidak stabilnya harga produk pangan, terutama beras?
Pengaruh "administrative price" yang diakibatkan oleh perubahan harga energi, seperti kenaikan BBM, sering memberikan pengaruh perubahan harga beras di Indonesia, terutama di kota-kota besar.
Pasalnya, sebanyak 90 persen pasar beras nasional tidak dalam kendali pemerintah lagi. Pemerintah tidak memiliki data yang "realtime" mengenai seberapa besar gabah petani yang telah menjadi beras, dan seberapa besar stok beras yang ada di pasar (penggilingan hingga pengecer). Masalah asimentrik informasi yang terjadi di pasar beras nasional inilah yang kemudian sering menimbulkan polemik terkait dengan kebijakan pangan nasional.
Kesejahteraan Petani
Kesejahteraan petani di subsektor pangan memang harus ditingkatkan karena dengan hal tersebut pilihan untuk menanam produk pangan tetap menjadi fokus mereka. Tanpa petani yang sejahtera di subsektor pangan, niscaya kebijakan swasembada pangan akan terabaikan. Bagaimana meningkatkan kesejahteraan para petani tersebut adalah dengan mendekatkan para petani dengan produk akhirnya.
Selama ini, petani tidak memiliki kuasa atas produk turunan panen mereka, seperti beras. Hal ini tidak lain karena penguasaan terhadap alat-alat produksi mereka yang hanya berupa lahan dan terbatas.
Penguasaan terhadap alat produksi yang dapat mengubah gabah menjadi beras atau produk turunan lainnya jarang sekali dimiliki oleh para petani.
Alat-alat produksi tersebut, seperti alat penggiling gabah, areal pengeringan, hingga gudang penyimpanan. Di sinilah peran kementerian dan lembaga untuk dapat mendorong kelompok-kelompok tani di subsektor pangan memiliki alat-alat produksi tersebut secara bersama, entah dalam bentuk organiasi koperasi atau gapoktan.
Jika para petani tersebut dapat menaikkan nilai tambah produk mereka, otomatis akan terjadi kenaikan kesejahteraan rumah tangga para petani.
Pembangunan infrastruktur jaringan informasi juga dapat digunakan oleh koperasi dan gapoktan yang telah mampu meningkatkan nilai produk mereka, menjual secara langsung ke pasaran, ataupun pedagang besar dengan harga yang bersaing tentunya.
Informasi harga yang didapat melalui media dan sistem informasi harga dapat dilihat para petani secara harian sehingga para petani memiliki banyak pilihan dan perhitungan yang matang untuk memasarkan produk mereka.
Peran penyuluh pertanian sebagai ujung tombak juga sangatlah penting. Selain membantu para petani dalam meningkatkan produktivitas, mereka juga sebagai pengawas produksi panen secara "realtime".
Dengan pembangunan konektivitas jaringan informasi, para penyuluh dapat menjadi inputer data terkait dengan jadwal tanam areal pertanian tertentu, masa penanaman, hingga panen berikut jumlah hasil panen.
Mekanisme itu tentu saja dapat membantu pengumpulan data lapangan yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait dengan sektor pangan.
Intervensi pemerintah terkait dengan harga dan stok pangan hanya terjadi ketika terjadi gagal panen akibat kejadian alam atau hal-hal yang "force majeure".
Bagaimanapun kebijakan jangka panjang swasembada pangan juga harus melihat keadaan jangka pendek sektor pangan karena keadaan ke depan sangatlah dipengaruhi oleh keadaan petani hari ini, keputusan-keputusan dari pengalaman mereka dalam menaman tanaman pangan, risiko, dan kesejahteraan mereka.
Pemerintah seharusnya melindungi petani subsektor pangan terhadap risiko dan kepastian pasar produk mereka.
*) Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian di Institut Pertanian Bogor.
Oleh Albertus Dona F *)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017