Jakarta (ANTARA News) - Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengisyaratkan tidak mudah untuk membubarkan suatu organisasi kemasyarakatan (ormas) jika ormas itu tidak melakukan tindakan kriminal.

Oleh karena itu, Polri membutuhkan payung hukum untuk dapat menutup sebuah organisasi apa pun jika dapat membahayakan persatuan dan kepentingan bangsa yang lebih besar, kata Tito Karnavian, usai memberikan kuliah umum di Universitas Kristen Atma Jaya, di Jakarta, Jumat.

Kapolri mengatakan, jika ada payung hukum yang memberikan kewenangan kepada kepolisian, maka pihaknya akan dapat menangkap para calon pelaku sebelum "bom" diledakkan, atau sebelum orang melakukan tindakan kejahatan.

"Hukum kita menganut azas hukum positif, yakni orang baru dapat ditangkap kalau orang itu sudah melakukan tindakan kejahatan," katanya, seraya menambahkan itulah sebabnya ormas juga sulit untuk ditutup.

Kuliah umum dengan tema, "Penegakan Hukum di Indonesia", terlaksana atas kerja sama Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) dengan Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya.

Menurut Tito, demokrasi di Indonesia sudah dibangun sejak pembuatan UUD 1945. Namun dalam pelaksanaan demokrasi, tergantung pada situasi politik di masanya, sehingga akan mempengaruhi sistem penegakan hukum di Indonesia.

Dulu di masa Orde Baru menutup ormas itu mudah. Kini situasinya berbeda dengan keadaan masa silam, dimana demokrasinya cenderung liberal atau bebas.

Pada titik ini, Tito mengatakan, pada masa silam, organisasi Islam terbesar di Indonesia hanya Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Kedua ormas itu sangat akomodatif dengan budaya lokal. Oleh karen itu, gesekan satu sama lain termasuk dengan pemerintah jarang terjadi.

Namun dengan demokrasi liberal, semua aliran Islam bebas masuk layaknya melalui jalan tol. Ada aliran-aliran yang tidak toleran dengan budaya lokal, bahkan dengan ideologi Pancasila-pun saat ini berkembang di Indonesia.

"Inilah masalah baru bagi sekuriti nasional di Indonesia kini dan mendatang," katanya, dan menambahkan, masyarakat mempunyai pilihan, apakah mau melonggarkan keamanan atau sekuriti nasional dengan memberikan kebebasan pribadi, ataukah sedikit menekan kebebasan pribadi dan mengutamakan keamanan nasional. Ini pilihan, katanya.

Ketua APPTHI Laksanto Utomo yang didampingi Dekan FH Unika Atma Jaya, Yanti Prestikawati menyampaikan rasa keprihatinanya atas penegakan hukum di Indonesia, terlebih pasca ditangkapnya hakim Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Sebagai ketua APPTHI, terus terang saya prihatin dalam penegakan hukum di Indonesia, terlebih usai ditangkapnya Hakim Konstitusi. Namun demkian, kami tetap bersemangat dan tidak merasa lelah untuk melakukan pendidikan bahwa hukum harus tetap ditegakan," katanya.

Laksanto menambahkan, korupsi di Indonesia kian hari bukannya kian menurun tetapi justru mengalami kenaikan. Yang membuat keprihatinan bagi anggota masyarakat dan APPTHI adalah, para penegak hukum seperti hakim ikut terlibat korupsi.

"Apakah para anggota hakim di MK tidak belajar dari kasus sebelumnya, ataukah ada yang salah dalam melakukan rekrutmen hakim di MK. Masalah ini agaknya perlu ditelaah kembali agar kita dapat menemukan sosok hakim yang betul-betul amanah bahwa dirinya sebagai hakim tidak boleh kagi berbuat yang tidak sepatutunya," katanya.

Kuliah umuum di Unika Atma Jaya ini, kata Laksanto, diikuti lebih dari mahasiswa dari delapan fakultas hukum di Jakarta, seperti Universitas Pancasila, Trisakti, Universitas Taruma Negara, Binus dan Universitas Sahid.

"APPTHI akan terus melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk memberikan pembekalan yang lebih kepada mahasiswa fakultas hukum yang akan menjadi aparat penegak hukum di masa depan," katanya.

(Y005/A011)

Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017