Jakarta (ANTARA News) - Pada Jumat (20/1), PSSI resmi menunjuk Luis Milla sebagai pelatih tim nasional, baik senior maupun untuk umur 22 tahun ke bawah (U-22).

Luis Milla Aspas nama lengkapnya, lahir di Teruel, kota di Spanyol bagian timur. Usianya 50 tahun, umur yang tidak bisa dikatakan tua sebagai pelatih.

Dia pernah bermain untuk Barcelona (1984--1990) dan setelah itu pindah ke Real Madrid (1990--1997). Mengingat sengitnya rivalitas dalam dan luar lapangan dua klub terbesar Spanyol ini, kejadian "pindah langsung" ini jarang terjadi. Sosok lain yang pernah melakukan hal serupa adalah Luis Figo, Michael Laudrup dan Bernd Schuster.

Milla mengakhiri karier di Valencia, satu dari beberapa klub kelas wahid Negeri Matador, tidak seperti banyak pesepak bola Eropa yang memilih bermain di liga "antah berantah" ketika masuki masa pensiun.

Sepanjang karier sebagai pemain, Luis Milla sudah mencicipi berbagai gelar seperti Piala Winners UEFA, La Liga Spanyol, Piala Super Spanyol, dan Piala Intertoto.

Sebagai pelatih, dia pernah mengasuh beberapa klub seperti Al Jazira di Uni Emirat Arab dan Real Zaragoza di Spanyol. Pelatih yang saat bermain berposisi sebagai gelandang bertahan ini juga pernah tim nasional usia muda Spanyol yaitu U-19, U-20, U-21 dan U-23.

Di tangannya, timnas U-19 Spanyol menjadi "runner up" Piala Eropa U-19 pada 2010. Setahun setelah itu, dia berhasil membawa timnas U-21 Spanyol menjadi juara Piala Eropa U-21 pada 2011 setelah mengalahkan Swiss dengan skor 2-0 di babak final.

Namun, apakah catatan itu berguna untuk Indonesia? Mari kita lihat.

Pengaruh Barcelona
Selama bermain di Barcelona, Milla pernah bekerja di bawah "dewanya" permainan tiki-taka, Johan Cruyff, selama dua tahun (1988--1990). Cruyff bisa dikatakan adalah peletak dasar permainan umpan pendek, sembari menguasai bola.

Demi mewujudkan itu di lapangan, pemain seperti Milla dan Pep Guardiola, eks-kapten Barcelona yang kini melatih Manchester City, harus memiliki kondisi fisik dan kecerdasan di atas rata-rata.

"Kau terlalu lambat, bahkan lebih lambat dari nenek saya," kata Cruyff dalam sesi latihan kepada Pep Guardiola yang kala itu masih remaja.

Pria asal Belanda itu memang terkenal keras dan menuntut sesuatu yang lebih dari para pemainnya. Hasilnya, dengan formasi 3-4-3 atau 4-3-3, Barca di era-Cruyff merupakan salah satu tim terbaik sepanjang sejarah klub. Sepanjang kepemimpinan Cruyff pada 1988-1996, mereka meraih satu juara Eropa, empat kali juara La Liga Spanyol, satu Piala Winners, satu Piala Super UEFA, satu Piala Raja Spanyol dan empat Piala Super Spanyol.

Yang mengherankan, ketika merajai Eropa, Barcelona era-Cruyff terdiri dari pemain-pemain yang memiliki postur "tidak tinggi-tinggi amat" dibandingkan rata-rata pesepakbola Eropa.

Luis Milla, misalnya, tingginya cuma 1,72 meter. Pemain sayap andalan Cuyff, Txiki Begiristain juga 1,72 meter. Bomber maut mereka, cuma penyerang utama tim nasional Brazil, Romario, hanya bertinggi badan 1,67 meter. Pep Guardiola dan Ronald Koeman yang bisa dikatakan "agak menjulang" dengan postur 1,8 meter.

Ketika Barcelona kembali menguasai Benua Biru pada musim 2008--2009 dengan meraih enam gelar dari enam kompetisi di bawah kepemimpinan Pep Guardiola, mereka pun bukanlah tim yang berpostur tinggi.

Lionel Messi, sang mega bintang, tingginya hanya 169 centimeter, Xavi dan Iniesta 1,7 meter. Pemain tertinggi mereka adalah bek tengah Gerard Pique dengan 1,93 meter. Pique biasanya bertandem dengan Mascherano, bek tengah yang tingginya cuma 1,7 meter.

Dengan rata-rata pemain 1,75 meter, Barcelona tentu saja sangat jarang melepaskan umpan lambung langsung ("direct") dan operan silang untuk disundul penyerang. Pemain bertahan Eropa yang kebanyakan bertinggi badan di atas 1,85 centimeter ke atas, tidak akan bisa membiarkan mereka memasukkan bola ke dalam gawang.

Strategi Barcelona ini pun menular ke tim nasional Spanyol. Banyaknya pemain inti tim Catalan bertinggi pas-pasan yang masuk ke tim Matador membuat gaya permainan tim nasional mengikuti Barcelona, "tiki-taka".

Dengan bermaterikan pemain-pemain berpostur badan pendek, di antaranya Xavi, Iniesta, David Villa (1,75 meter), Spanyol menjadi yang terbaik di Piala Eropa pada 2008, 2012 dan juara dunia pada 2010.

Karena dianggap sukses, pola permainan yang sama kemudian ditularkan ke tim nasional kelompok umur lainnya, termasuk ke U-21 yang menjadi kampiun di Eropa pada tahun 2011 ketika dilatih oleh Luis Milla.

U-21 Spanyol era-Milla
Tim nasional U-21 dihuni para pemain berbakat yang kelak mengisi susunan tim banyak klub papan atas dunia. Pada Piala Eropa U-21, mereka berhasil mengalahkan Swiss dengan skor 2-0 di babak final.

Luis Milla ketika itu memiliki banyak pemain kreatif dan berbakat di skuadnya. Milla kerap menggunakan formasi 4-2-3-1 untuk membongkar pertahanan lawan.

Posisi penjaga gawang tim diisi oleh David de Gea, yang kini bermain untuk Manchester United. Kemudian di barisan belakang ada nama-nama seperti Martin Montoya (sekarang pemain Valencia), Alberto Botia (Olympiacos), Alvaro Dominguez (pensiun) dan Didac Vila (AEK Athens).

Di barisan tengah, Javi Martinez (Bayern Muenchen) menjadi gelandang bertahan, ditemani Thiago Alcantara (Bayern Muenchen).

Di depan mereka ada Juan Mata (Manchester United) di sisi kanan, Ander Herrera (Manchester United) dan Iker Munian (Athletic Bilbao).

Sebagai ujung tombak, Milla memasang penyerang Adrian Lopez (FC Porto).

Dikutip dari laman resmi UEFA, Spanyol menjadi tim yang tersubur selama kompetisi dengan mencetak 11 gol dan hanya kebobolan dua kali.

Kunci permainan Spanyol kala adalah Juan Mata, gelandang kreatif yang di akhir kompetisi didaulat menjadi golden player. Pemain yang fasih bermain sebagai tengah, kiri maupun kanan itu mengkreasikan dua umpan gol (assist) selama Piala Eropa U-21 tahun 2011, tertinggi di kejuaraan dan dua kali melesakkan bola ke gawang.

Untuk menyeimbangkan transisi dari bertahan ke menyerang, Milla punya jaminan mutu dalam diri Javi Martinez, kapten tim saat itu. Dia bergerak agresif memotong bola lawan. Tidak heran, Martinez merupakan pemain yang paling banyak melakukan pelanggaran, 15 kali dan mengoleksi tiga kartu kuning.

Selain menjadi juara, pemainnya mendapatkan gelar golden player, assist terbanyak, tim Matador juga menempatkan sang penyerang Adrian Lopez, sebagai pencetak gol terbanyak.

La Furia Roja U-21 sendiri tidak melulu memiliki penguasaan bola lebih dari 60 persen, seperti yang lazim ditampilkan seniornya. Dikutip dari BBC, saat melawan Inggris U-21 yang berakhir dengan skor 1-1 di babak grup, Spanyol mencatatkan penguasaan bola 50 persen.

Di babak final yang mereka menangkan, perbandingan penguasaan bola dengan Swiss adalah 51:49. Artinya, Milla lebih mementingkan efektivitas serangan. Catatan UEFA, Tim La Furia Roja menjadi yang paling agresif dengan rata-rata hanya melepaskan tujuh tendangan melenceng dari 35 percobaan.

Milla meminta timnya untuk bergerak efektif dan mencari ruang untuk menerima bola. Dengan pemain-pemain berpostur mungil seperti Juan Mata (1,70 meter), Thiago (1,72 meter) dan Iker Muniain (1,69 meter), tim U-21 Spanyol bergerak lincah sembari melakukan operan-operan pendek. Tidak jarang mereka juga saling bertukar tempat, yang membingungkan lawan.

UEFA menggambarkan sistem ini melalui peran Mata. "Mata, yang beroperasi dari sisi kiri, kerap menjelajah lapangan dan bertukar tempat dengan Thiago Alcantara, juga pemain sayap Iker Muniain. Pemain bernomor punggung 10 ini sangat sulit ditaklukkan," tulis federasi sepak bola Eropa tersebut dalam laman resminya.

Tipe permainan seperti inilah yang diinginkan PSSI dari Luis Milla. Direktur Teknik Tim Nasional PSSI yang juga anggota panel pemilihan pelatih timnas, Danurwindo menganggap Milla bisa menularkan permainan menekan dengan umpan-umpan pendek.

PSSI mau tinggi badan pemain tim nasional, yang rata-rata 1,75 meter, tidak lagi menjadi kendala.

"Milla ingin pemain pintar membaca permainan, menguasai bola dan setelahnya melakukan eksekusi," tutur Danurwindo.

Dengan kontrak selama dua tahun, Milla sepertinya akan sibuk memilih pemain terbaik Indonesia untuk mengisi skuadnya. Targetnya adalah juara SEA Games 2017 di Malaysia, membawa Indonesia ke peringkat 130 FIFA sampai akhir tahun 2017 dan posisi empat besar di Asian Games 2018.

Selamat bekerja, Luis Milla!

Oleh Michael Siahaan
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017