Di zaman kemerdekaan berpikir sebagai barang mewah, penulis bawah tanah, yang mengungkapkan gagasan dengan nama samaran, menyusun pikiran yang ditulis untuk menghantam penguasa tiranik.
Di masa kebebasan berpikir sebagai kelumrahan seperti sekarang ini, penulis yang hendak memprotes pemerintah tak perlu menggunakan nama samaran. Namun, mereka yang sadar diri bahwa tulisannya penuh data abal-abal, fitnah dan hasutan masih perlu menyembunyikan identitas sejatinya ketika harus membubuhkan namanya di halaman depan buku yang ditulisnya.
Pada periode tiranik lebih dari tiga dekade di bawah kuasa Orde Baru, publik menyaksikan bagaimana penguasa menghadapi buku yang dipersepsikan sebagai pikiran yang menghasut.
Lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung di masa itu adalah salah satu perangkat kekuasaan yang diberi wewenang penguasa rakyat untuk menentukan buku-buku apa saja yang boleh dibaca publik. Tak perlu diperdebatkan bagaimana para jaksa di lembaga itu menilai sebuah pikiran yang terlarang dan bebas dibaca warga.
Novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang menggugah dari segi kemanusiaan dinilai terlarang untuk dibaca. Anak-anak sekolah pun haram untuk belajar bagaimana sebuah novel bagus diekspresikan dalam kalimat-kalimat yang bernas, hidup dan memukau.
Salah satu argumen yang digunakan penegak hukum untuk melarang peredaran novel-novel itu adalah muatan ideologisnya yang berbahaya karena di sanalah ajaran komunisme disusupkan.
Yang menarik, hampir semua pembaca novel-novel itu, yang memperolehnya lewat jalur bawah tanah, berkesimpulan bahwa tak ada satu kalimat pun yang merupakan ide-ide komunisme.
Dalam zaman normal, penegak hukum yang hendak mengadili perkara yang membutuhkan pengetahuan khusus perlu mendengar masukan dari para ahli. Ketika novel Pram dilarang, tak satupun sastrawan terkemuka yang dimintai pendapatnya tentang novel itu.
Syukurlah zaman edan itu sudah terkubur. Kini tak ada novel-novel cemerlang maupun yang suram dilarang dibaca.
Namun, buku tetaplah menjadi salah satu persoalan bagi sejumlah orang yang masih berpikir dalam perspektif tiranik. Masih ada orang-orang yang geram ketika sebuah buku yang dinilainya destruktif bagi pembaca beredar di pasaran.
Belakangan ini, sebuah buku yang sesungguhnya lebih tepat diperlakukan sebagai buku yang meracau, yang isinya penuh dengan fakta ngawur, yang dengan sengaja mengusung pikiran untuk membunuh karakter lawan politik, tengah menyita perhatian publik.
Dengan sasaran tokoh istimewa seperti presiden, buku yang menghasut akan menyita perhatian banyak orang yang tak terbiasa menghadapi pertarungan pikiran sebagai hal lumrah dalam alam demokrasi yang matang.
Bagi sebagian orang yang terbiasa dengan perang pikiran, yang horison bacaannya mengglobal dan menyejarah hingga di abad-abad yang jauh ke belakang, buku yang menghebohkan karena isinya menghasut orang penting sama sekali tak layak diperhatikan.
Itu sebabnya, cara paling ampuh untuk melawan buku-buku yang meracau, yang isinya ngawur tanpa riset mendalam adalah memperlakukannya sebagai sampah gagasan yang hanya mengaburkan penglihatan dalam pembacaan pikiran.
Berpikir secara jernih rasional sangat dibutuhkan dalam menuliskan pikiran. Dengan berpikir seperti itu pula seseorang selayaknya menghadapi pikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Salah satu cara berpikir yang keruh dan tak rasional adalah mempersoalkan garis keturunan seseorang yang dipilih secara demokratis menjadi pemimpin bangsa. Undang-undang, yang menjadi patokan berpolitik telah mengatur bahwa seorang pemimpin tak harus dilacak garis keturunannya untuk sahih dipilih sebagai pemimpin.
Dari sana cukuplah jelas bahwa usaha mempersoalkan asal-usul seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis adalah kerja dari orang yang tak layak dipedulikan, apalagi diapresiasi.
Tampaknya, menulis buku untuk mencari perhatian publik, dengan mengabaikan kewajaran bahkan melanggar norma-norma yang dipelihara di dunia kepenulisan, selayaknya tak perlu diberi panggung untuk sebuah perdebatan publik.
Memfitnah seorang pemimpin publik jika dilakukan oleh seorang penulis yang kredibel memang perlu diperkarakan di pengadilan, namun jika hal itu dilakukan oleh penulis yang tak jelas reputasi dan rekam jejaknya, barangkali lebih afdol untuk diperlakukan sebagai angin lalu.
Media massa pun tak perlu mengangkat sesuatu yang berkadar gagasan sampah sebagai liputan apalagi liputan utama atau khusus. Jika karya-karya yang berisi gagasan dan data serampangan diberi ruang di media massa, publik pun mendapat sajian yang hanya berisi kabar sensasional yang tak mencerahkan.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa sebaiknya buku yang berisi fitnah tak perlu ditangani dengan menerapkan prosedur hukum, tapi cukup dihadapi dengan melahirkan buku tandingan sebagai alternatif pembanding.
Pendapat di atas tampaknya masih bisa dipersoalkan berdasarkan kadar fitnah yang menjadi bahan baku penulisan buku bersangkutan.
Fitnah adalah kebohongan yang dihasilkan antara lain dari pemutarbalikan fakta, penciptaan ilusi yang dipersepsikan sebagai fakta.
Fitnah yang merendahkan martabat, menghina pejabat publik, yang dilontarkan oleh mereka yang terpelajar dan dengan sengaja bermaksud untuk merusak nama baik seseorang, baik orang penting maupun kurang penting, tentu pantas dihadapi dengan menerapkan prosedur hukum.
Tampaknya, buku yang meracau masih akan selalu diproduksi di masa depan sebab hasrat untuk diperhatikan dengan menulis tentang hal-hal yang sensasional adalah bagian dari sekian karakteristik psikis manusia.
Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017