Surabaya (ANTARA News) - Sebanyak 13 warga keturunan Tionghoa yang hingga berusia tua belum juga mendapatkan status kewarganegaan yang jelas menagih janji kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Hamid Awaludin, di Surabaya, Sabtu. Ke-13 warga Tionghoa itu tampak berjajar di depan menteri saat sesi dialog, setelah Hamid Awalludin berpidato membuka dialog nasional bertajuk "Undang-Undang Kewarganegaraan dan RUU Ras/Etnis" yang dihadiri sekitar 500 orang dari perwakilan beragam etnis. Apalagi, MenkumHAM dalam kesempatan itu juga menyerahkan 23 sertifikat bukti kewarganegaraan kepada 23 anak yang ibunya WNI, tapi ayahnya merupakan warga asing dari Taiwan, Australia, AS, Belanda, Mesir, India, Philipina, dan Inggris. "Ke-13 orang itu, memang tidak memiliki persyaratan yang lengkap, tapi mereka sudah memiliki KTP, Akte Kelahiran, KK. Tapi, mereka belum juga mendapatkan status kewarganegaraan itu," ujar aktivis Solidaritas Korban Anti Diskriminasi (SiKAD) Surabaya, Biao Wan. Bahkan, kata Ketua Bidang Advokasi di Lembaga Bantuan Pewarganegaraan (LBP) Surabaya itu, sebagian di antara mereka sudah memiliki Surat Pendaftaran dan Surat Pendataan untuk mendapatkan bukti kewarganegaraan sejak belasan tahun silam. Padahal, Menkum dan HAM sudah pernah menyatakan bahwa warga keturunan asing yang bermukim lama di Indonesia cukup menyerahkan data tentang nama, alamat, status perkawinan, dan berapa lama bermukim di Indonesia kepada Kanwil Depkum dan HAM, maka statusnya akan jelas. "Karena itu, kami mewakili belasan warga Tionghoa yang belum memiliki status kewarganegaraan yang jelas itu menagih janji pak menteri. Apalagi, di Surabaya masih ada ribuan warga Tionghoa yang bernasib sama, padahal di Madiun dan Pasuruan juga ada," ucapnya. Menanggapi pengaduan yang sifatnya menagih janji itu, Menkum dan HAM berjanji akan mempelajari persyaratan yang disodorkan pemohon dan akan segera menerbitkan status kewarganegaraannya bila memang memenuhi persyaratan. "Banyak warga keturunan Tionghoa yang memang lahir dan besar di Indonesia, tapi mereka belum tersentuh UU Kewarganegaraan 12/2006," katanya dalam pertemuan yang diadakan Kanwil Depkum dan HAM Jatim dengan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Surabaya itu. Padahal, ucapnya, UU Kewarganegaraan yang baru itu merumuskan WNI adalah orang yang lahir di Indonesia, termasuk anak dari ibu dan ayah yang tidak jelas status kewarganegaraan miliknya, namun anaknya lahir di Indonesia. "Jadi, anak yang lahir di Indonesia akan dijamin menjadi WNI secara status hukum. UU Kewarganegaraan yang baru itu tidak melihat WNI dari aspek etnis, warna kulit, atau bentuk fisik, melainkan status kelahirannya," paparnya. Oleh karena itu, ia berjanji akan menerbitkan pernyataan kolektif untuk pengakuan kepada warga keturunan asing yang lama bermukim di Indonesia sebagai WNI (Warga Negara Indonesia). "Dirjen Administrasi Kependudukan akan menerbitkan surat itu," ujarnya, disambut tepuk tangan hadirin. Dalam uraiannya itu, Menkum dan HAM menegaskan bahwa dirinya tidak hanya berpidato tanpa bukti. "Kalau urusan yang bapak-ibu alami selama ini agak lama, saya kira hal itu hanya masalah waktu, karena bunyi UU Kewarganegaraan sudah jelas," tuturnya. Cara mengurus kewarganegaraan juga mudah dan praktis, karena tinggal menyerahkan data ke Kanwil Depkum dan HAM di daerah untuk diteruskan ke Jakarta, atau dengan meminta KTP ke kelurahan dan akhirnya diserahkan ke Kanwil Depkum dan HAM untuk diproses. Hal itu diakui Nurul Ansar (29) asal India yang beristerikan Yasmin Bibi (24) asal Surabaya. "Saya mengurus status kewarganegaraan untuk tiga anak saya, tapi baru anak ketiga yang keluar, sedangkan kedua anak saya masih harus menunggu. Tidak sulit," ucapnya. Bahkan, kata lelaki kelahiran Madras, India itu, dirinya juga ingin menjadi WNI. Namun, dirinya masih ingin membuka usaha rumah makan India di Surabaya. "Kalau sudah jalan, saya akan mengurus status WNI itu," kata lelaki yang bolak-balik mengurus visa tinggal itu. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007