Mengenai dimensi hukum, sangat jelas usulan para antropolog meminta Presiden tidak membiarkan kekerasan atau tindakan-tindakan yang mengancam keberagaman dan toleransi
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo menegaskan berlanjutnya proses hukum dalam kasus-kasus yang mengancam keberagaman Indonesia.
"Mengenai dimensi hukum, sangat jelas usulan para antropolog meminta Presiden tidak membiarkan kekerasan atau tindakan-tindakan yang mengancam keberagaman dan toleransi. Presiden memastikan proses hukum terhadap mereka yang melakukan tindakan kekerasan akan diproses," kata Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki di Kantor Presiden Jakarta, Senin.
Teten menyampaikan hal tersebut usai mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima 12 antropolog dalam Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif (AUI). AUI mengajukan petisi yang meminta agar Presiden Jokowi memperhatikan sungguh-sungguh mengenai persoalan intoleransi dan kedaruratan kebhinekaan Indonesia.
"Memang ada pertimbangan-pertimbangan politik yang saat ini kelihatan oleh masyarakat pemerintah tidak tegas. Tapi tadi ditegaskan Presiden bahwa penegakan hukum harus dilakukan," tambah Teten.
AUI juga menyebutkan ada tiga faktor penyebab intoleransi di Indonesia yaitu faktor pendidikan, ketimpangan ekonomi dan hukum.
"Mengenai dimensi pendidikan, Presiden sudah berkali-kali menekankan pentingnya Pancasila kembali diajarkan di sekolah-sekolah dan juga di masyarakat umum. Dalam waktu dekat akan dibentuk Unit Kerja Presiden mengenai Pemantapan Ideologi Pancasila. Ada unit kerja baru di bawah presiden yang akan memproduksi gagasan-gagasan termasuk memproduksi materi di sekolah dan masyakart umum," ungkap Teten.
Unit itu sudah digagas pada Desember 2016 akan membantu Presiden dalam mengoordinasikan, mensinkronkan, dan mengendalikan pelaksanaan ideologi Pancasila dengan implementasi nilai Pancasila melalui sekolah, lembaga pemerintahan, hingga organisasi kemasyarakatan.
UKP PIP nanti akan dipimpin oleh seorang kepala deputi dan diisi para dewan penasihat yang terdiri atas berbagai tokoh negara, agama, ormas, hingga purnawirawan TNI-Polri sedangkan payung hukumnya diatur melalui peraturan presiden (perpres).
"Kedua dari aspek dimensi ekonomi, dalam waktu dekat akan diluncurkan semacam kebijakan ekonomi baru yang namanya belum dirumuskan tapi new economic policy ini untuk melakukan pemerataan, mengurangi kesenjangan ekonomi yang sedang digodok Menko Perekonomian," tambah Teten.
Presiden Jokowi, menurut Teten, juga sedang melakukan redistribusi lahan seluas sembilan juta hektare dan untuk perhutanan sosial hingga 12,7 juta hektare dan khusus untuk masyarakat adat sekitar 12.300 hektare.
"Selama 10 tahun terkahir ada 23,6 juta hektare lahan yang diberikan ke perusahaan besar dan Presiden mengingatkan ini tidak boleh terjadi lagi karena Presiden ingin agar gap pemilikan lahan tidak boleh terjadi lagi. Reformasi agraria untuk redistribusi lahan ke rakyat akan jadi prioritas dan sudah dilakukan," ungkap Teten.
Menurut Teten, Presiden intinya tidak akan meneruskan program-program yang menimbulkan kesenjangan sosial.
Sedangkan salah satu perwakilan antropolog yaitu Amri Marzawi dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa benih intoleransi dimulai dari hal-hal kecil termasuk di bidang pendidikan.
"Maaf saja jadi agak menuju kepada agama tertentu, yaitu agama Islam walau saya juga beragama Islam. Misalnya tausiyah-tausiyah dalam majelis-majelis talim di masyarakat umum maupun di universitas-universitas itu ucapan-ucapan, ajaran-ajarannya mendorong jiwa intoleransi tadi," ungkap Amri.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017