Tampak Siring (ANTARA News) - Pemerintah RI berniat melakukan perundingan kerjasama ekstradisi dengan China dan Kanada, kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, usai menyaksikan penandatanganan perjanjian ekstradisi RI-Singapura di Istana Tampak Siring, Bali, Jumat sore. "Kita tidak hanya bekerjasama dengan Singapura tapi juga akan kita kembangkan dengan Republik Rakyat Tiongkok atau China dan Kanada dalam waktu dekat untuk tujuan yang sama," kata Kepala Negara. Sejak tahun 1970-an, Indonesia telah membangun kerjasama serupa dengan Malaysia, Thailand, Filipina, Australia, Hong Kong dan Korea Selatan. "Kalau bicara tentang tersangka, kita tidak hanya perlu bekerja sama dengan Singapura karena banyak jadi tersangka yang ada di negara-negara lain. Itu sebabnya kita coba membuat ekstradisi dengan negara-negara lain," katanya. Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura yang ditandatanggani Jumat berlaku surut hingga 15 tahun ke belakang. Permintaan ekstradisi itu menyangkut 31 jenis kejahatan, antara lain pembunuhan, perkosaan, kejahatan perbankan, korupsi dan pencucian uang. Sementara itu, Menlu RI, Hassan Wirajuda, mengatakan bahwa masa berlakunya perjanjian yang retrospektif tidak hanya berlaku ke depan diharapkan memiliki efek jera, guna mencegah pelaku kejahatan lari ke Singapura dan membawa harta hasil kejahatannya. Menlu menjelaskan, jenis kejahatan di luar 31 jenis itu tidak akan dapat diekstradiksi namun perjanjian itu tidak hanya mengikat para terpidana namun juga tersangka. "Kalau mau pulangkan WNI di sana betul-betul harus disiapkan berkasnya, serta dasar hukum yang kuat untuk memulangkan," ujarnya. Namun, lanjutnya, ada kesepakatan bahwa ketentuan kewarganegaraan ditentukan dari saat pelaku melakukan tindak kejahatan untuk kasus pelaku kejahatan yang berpindah kewarganegaraan. "Ini satu masalah yang cukup alot. Kewarganegaraan. Perbedaan Indonesia dan Singapura dalam proses perundingan adalah bahwa WNI yang melakukan tindak pidana di sini bisa diekstradisikan," katanya. Usulan Singapura pada awalnya adalah kewarganegaraan dihitung saat kapan ekstradisi dimintakan. Tapi kesepakatan akhir, kewarganegaraan pelaku tindak pidana dihitung saat tindak pidana terjadi, katanya. "Ketika tindak pidana terjadi dia warga negara kita, kita berhak ekstradisikan," ujarnya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007