Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Aria Bima, di Jakarta, Jumat, menyatakan bahwa kaum kapitalis masih terus mendominasi politik perberasan nasional, membuat Perusahaan Umum (Perum) Bulog sebagai alat ekonomi pemerintah tak bisa berkutik. "Mestinya, agar bisa optimal menyerap hasil panen tahun ini, Bulog harus mau membeli gabah basah langsung dari petani. Sebab, jika tidak, Bulog bakal berposisi kalah terus bersaing dengan para antek kapitalis, dari yang kakap hingga kelas tengkulak yang agresif memborong padi sejak masih di tengah sawah," katanya. Dikatakannya, para tengkulak inilah yang ternyata menjual gabah atau beras ke Bulog sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP). "Bahkan, jika HPP di bawah harga pasar, para tengkulak pulalah yang akan menikmati harga tinggi di pasar umum," ungkap Aria Bima.Ia mengemukakan pula, "Hal ini perlu diungkapkan, karena praktek pembelian gabah maupun beras petani kita oleh Bulog selama ini nyaris selalu melalui pihak ketiga." Pihak ketiga yang dimaksudnya adalah para pengepul atau tengkulak. "Dengan demikian, para tengkulak atau mitra Bulog-lah yang sejatinya menikmati kenaikan harga beras atau HPP. Sementara petani harus puas dengan harga jual produk yang tetap rendah atau subsisten, lantaran lemahnya posisi tawar mereka terhadap para tengkulak," ujarnya. Selain itu, ia menilai, Bulog seharus proaktif membeli gabah petani, karena selama ini kenyataannya kaum tani juga sulit menjual produksinya secara langsung ke Bulog. "Mengapa demikian? Karena, pertama, untuk dapat menjadi pemasok gabah atau beras ke Bulog, dibutuhkan birokrasi berbelit serta uang pelicin yang cukup besar, sehingga hanya para tengkulak atau 'petani berdasi' yang bermodal besarlah yang lazimnya bisa menjadi pemasok gabah atau beras ke Bulog," katanya. Hal kedua, lanjutnya, Bulog menetapkan "trading-term" (syarat-syarat) yang sulit dipahami petani. "Misalnya, soal persentase kadar air atau beras pecah. Rata-rata petani tak dapat mengetahui bagaimana cara mengetes kadar air gabahnya," katanya. Selama ini, ia pun menilai, Bulog hanya mau enaknya saja, yakni membeli gabah atau beras petani yang siap masuk gudang atau didistribusikan. "Bulog tak mau repot-repot melakukan usaha pasca-panen, seperti pengeringan atau penggilingan, untuk membantu menjaga mutu beras petani Indonesia. Padahal dengan sumberdaya Bulog yang demikian 'powerfull', bukanlah hal yang sulit bagi Bulog untuk dapat menyerap gabah petani dalam kondisi basah dan kemudian mengolahnya menjadi GKP, GKG, maupun beras siap konsumsi," ujarnya. Walhasil, ia mengemukakan, keberadaan Bulog sejak didirikan sebenarnya nyaris tak pernah menguntungkan petani. "Karena, fungsi Bulog sejauh ini hanya sebagai operator yang bertugas menjaga ketersediaan cadangan beras nasional dan mengontrol harga komoditas pangan utama ini, agar tak terlalu mengatrol angka inflasi. Di luar itu, hanya mencari untung untuk kelangsungan hidup mereka sendiri," katanya. Dari pengamatan Aria Bima dan Komisi VII DPR RI, orang-orang Bulog tak pernah menunjukkan keberpihakannya kepada kaum tani. Oleh karena itu, ia berharap, bila Bulog hendak diarahkan untuk ikut menyejahterakan petani, maka lembaga ini mesti direstrukturisasi. "Posisinya tidak lagi berbentuk Perum di bawah Departemen Perdagangan, namun sebagai lembaga non-profit di bawah Departemen Pertanian. Kebijakan mengimpor beras atau tidak pun selanjutnya juga dilimpahkan ke pihak Deptan," katanya. Ia menambahkan, jika hal itu bisa diterapkan, maka politik perberasan Indonesia tidak semata-mata demi terciptanya ketahanan pangan, tapi juga untuk menjamin kesejahteraan kaum tani dan buruh tani yang masih merupakan mayoritas rakyat yang terpinggirkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007