Jakarta (ANTARA News) - Anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Aria Bima, di Jakarta, Jumat, mengatakan sebaiknya Presiden Susilo Bambang Yudhono fokus me-`reshuffle` tim ekonomi kabinetnya, karena di mata publik, mereka itu kurang memiliki keberpihakan kepada kepentingan nasional serta tak punya keperdulian terhadap rakyat kecil. "Saya menilai, tim ekonomi yang ada di kabinet saat ini kurang memiliki keberpihakan kepada kepentingan nasional dan kepedulian kepada nasib rakyat kecil. Mereka terlalu menempatkan investasi asing sebagai solusi utama pembangunan Indonesia. Akibatnya justru Indonesia menjadi kian tergantung kepada asing dan kurang memiliki kedaulatan ekonomi," katanya. Sejauh ini, menurut Aria Bima, kebijakan tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) cenderung mencerminkan kepentingan organisasi perdagangan dunia (WTO) dan perusahaan-perusahaan multinasional (MNC), ketimbang kepentingan mayoritas rakyat Indonesia. "Salah satu buktinya, ialah, kebijakan untuk terus mengimpor beras hingga tahun 2009, padahal produksi padi petani kita sudah surplus," kata anggota Komisi VI DPR yang membidangi Perdagangan, Industri, Koperasi, BUMN, Usaha Kecil dan Menengah ini. Jelas saja, kata Aria Bima dengan nada keras, kebijakan itu sangat tidak memihak nasib petani dan buruh tani yang menjadi mayoritas warga negeri ini. Aria Bima menjelaskan usulan agar Presiden Yudhoyono me-`reshuffle` tim ekonominya ini bukan lantaran suka atau tidak suka. "Tapi, karena menyangkut visi atau pola pikir personel tim ekonomi KIB yang saya nilai sekadar menjadi kepanjangan tangan WTO dan para aktor di belakangnya," ungkapnya. Program privatisasi BUMN misalnya, lanjut Aria Bima, jelas memperlihatkan agenda tim ekonomi KIB yang terlalu pro-WTO atau sangat kental nuansa neoliberalnya. "Belum lagi kasus penunjukan Exxon Mobil di Blok Cepu yang justru bersifat diskriminatif terhadap Pertamina. Padahal Pertamina secara teknis mampu mengelola tambang minyak Cepu ini," ungkapnya lagi. Selain itu, lanjut Aria Bima, makin menjamurnya hypermarket di mana-mana, juga menunjukkan gagalnya tim ekonomi SBY melindungi usaha kecil dalam negeri. "Sebab, pasar-pasar modern raksasa itu bukan saja umumnya dimiliki investor asing, melainkan juga menjadi pesaing yang tak sepadan bagi pasar tradisional dan pedagang kecil. Walhasil, pedagang pasar tradisional dan pedagang ritel kecil yang akhirnya harus tergusur atau bahkan mati usahanya," ungkapnya menambahkan. Dalam tata niaga gula pun, kata Aria Bima, tim ekonomi SBY gagal melakukan stabilisasi harga gula di tanah air. Sebab, pada saat industri gula dalam negeri belum dapat memasok produk gulanya ke pasar seperti saat ini, harganya dibiarkan dipermainkan spekulan yang memonopoli stok gula (impor) nasional. "Walhasil, harga gula di beberapa daerah naik hingga Rp7.000 bahkan Rp8.000 per kg. Harga ini jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) gula di Jawa yang sebesar Rp6.100 per kg dan di luar Jawa Rp6.300 per kg," tukasnya. Terhadap realitas seperti inilah yang menjadikan Aria Bima menegaskan SBY harus mengganti tim ekonominya dengan tim lebih memiliki visi nasional (inward looking) dan memihak kepentingan mayoritas rakyat. "Sebuah tim ekonomi yang tak hanya mengejar target ekonomi makro, tapi juga mampu menggerakkan sektor riil, sehingga dapat mengatasi pengangguran dan menggerakkan ekonomi rakyat. Juga sebuah tim yang berani menuntut penjadwalan ulang utang luar negeri dan menolak dominannya intervensi asing," kata Aria Bima dengan nada meyakinkan. (*)

Copyright © ANTARA 2007