Jakarta (ANTARA News) - Prof (Emeritus) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengatakan, kasus pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009, bukanlah persoalan masyarakat pesisir Nusa Tenggara Timur semata, tetapi merupakan masalah bangsa dan Negara Indonesia.
"Kasus ini harus dijadikan sebuah yurisprudensi bagi bangsa Indonesia guna mengantisipasi kejadian serupa di kemudian hari mengingat begitu banyak anjungan minyak dan gas yang bertebaran di seluruh wilayah perairan Indonesia," kata mantan Menko Perekonomian pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri itu di Jakarta, Rabu.
Pria kelahiran Rangkasbitung, Banten pada 25 November 1939 dan mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Amerika Serikat pada Februari 1998 mengemukakan hal tersebut saat bertemu dengan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni bersama rekannya Frans Padak Demon di Jakarta.
Tanoni yang menadvokasi lebih dari 13.000 nelayan Nusa Tenggara Timur untuk menggugat PTTEP secara "class action" di Pengadilan Federal Australia itu, menceritakan panjang lebar soal kasus pencemaran Laut Timor yang sudah berlangsung hingga lebih dari tujuh tahun lamanya, namun belum juga membuahkan hasil.
Mantan agen imigrasi Australia itu juga mengatakan bahwa kasus pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor tersebut mengorbankan ribuan masyarakat di pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur, namun pihak perusahaan PTTEP asal Thailand itu malah lari dari tanggungjawab kemanusiaannya.
"Begitu banyak penyakit aneh yang diderita oleh masyarakat pesisir di kepulauan NTT, usaha budidaya rumput laut yang menjadi salah satu mata pencaharian rakyat pesisir NTT juga mengalami kehancuran akibat wilayah perairan budidaya sudah terkontaminasi dengan minyak serta zat beracun lainnya," ujarnya.
Setelah mendengar kisah panjang lebar dari pimpinan YPTB tersebut, Dorodjatun mengatakan bahwa persoalan pencemaran minyak di Laut Timor perlu segera diselesaikan dan harus pula dijadikan yurisprudensi bagi bangsa Indonesia guna mengantisipasi kejadian serupa di kemudian hari mengingat begitu banyak anjungan minyak dan gas yang bertebaran di seluruh wilayah perairan Indonesia.
"Belum lagi kapal-kapal tanker yang berseliweran dengan mengangkut bahan minyak dan gas serta kapal-kapal selam yang membawa bahan nuklir melintasi tiga kawasan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) di mana salah satu dari tiga ALKI tersebut yakni ALKI III berada di kepulauan Nusa Tenggara Timur," katanya.
Lulusan doktor bidang ilmu politik dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat pada 1980 itu jika kasus pencemaran Laut Timor sudah dijadikan sebagai yurisprudensi maka akan lebih mudah untuk menyelesaikan masalahnya.
Menurut Prof Dorodjatun, kompensasi ganti rugi memang penting, akan tetapi jauh lebih penting adalah kasus pencemaran minyak Montara di Laut Timor pada 2009, harus dijadikan sebagai sebuah "legal precedent" sebagai sebuah warisan bagi anak cucu bangsa Indonesia.
"Kepedulian Pak Dorodjatun terhadap NTT sangat luar biasa, terutama pada masa pemerintahan Gubernur NTT Herman Musakabe (1993-1998). Saat itu, beliau memperkenalkan tiga orang ekonom ternama dari UI, yakni Faisal Basri, Acmad Shauki dan Sri Mulyani, untuk melakukan kajian ekonomi bagi Provinsi NTT," kata Tanoni mengenang.
Pewarta: Laurensius Molan
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017