Banda Aceh (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (BRR NAD) dan Nias bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan terkait dengan penggunaan material ilegal yang dipakai rekanan untuk membangun kembali berbagai infrastruktur di Aceh. "Jika BRR NAD-Nias menyatakan kerusakan lingkungan bukan tanggung jawabnya, maka itu merupakan bentuk cuci tangan terhadap persoalan sebagai dampak dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi," kata Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Dewa Gumay, di Banda Aceh, Kamis. Menurut Walhi, BRR bertanggung jawab terhadap lingkungan berdasarkan mandat Undang-undang Nomor 10/2005 dan Perpu Nomor 2/2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias. Pada pasal 5 dinyatakan Rekonstruksi meliputi, huruf b, penataan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Hal yang dimaksud penataan adalah pengaturan secara menyeluruh dalam memanfaatkan bahan baku untuk kebutuhan rekonstruksi, tidak hanya terbatas pada himbauan, tetapi juga mensyaratkan standar penggunaan bahan baku yang berasal dari perizinan legal dan tidak menimbulkan dampak lingkungan, katanya. "Pernyataan BRR merupakan indikasi strategi exit BRR yang mulai dikomunikasikan kepada publik menjelang April 2009 masa berakhirnya tugas badan tersebut. Indikasi itu akan membebani anggaran Pemda NAD untuk memulihkan kondisi lingkungan yang rusak setelah kepergian BRR," ujarnya. Proses rekonstruksi telah memarakkan eksploitasi galian C di Kabupaten Aceh Besar, tercatat pada 2005 terdapat 37 jumlah izin konsesi dengan luas 51,02 ha sedangkan untuk 2006 terdapat 33 jumlah izin konsesi dengan luas 28,265 ha. Selama 2005-2006 diperkirakan 3.964.250 meter kubik bahan mineral galian C telah di eksploitasi di Wilayah Aceh Besar untuk mensuplay kebutuhan rekonstruksi. Penambangan galian C yang serampangan menimbulkan dampak negatif berupa erosi pada dinding Sungai, dan beberapa jembatan yang melintasi Krueung Aceh juga terancam ambruk. Kondisi saat ini dimana eksploitasi galian C juga dilakukan secara terbuka dan terang-terangan di tengah kota Banda Aceh. Selain itu dampak kerusakan lingkungan pada kawasan hutan dan sungai yang dimanfaatkan untuk kebutuhan bahan baku kayu dan galian C cukup signifikan, hasil investigasi Walhi Aceh terhadap dokumen Timber for Aceh [TFA] pada 2007 ditemukan 11.944,90 meter kubik kayu yang digunakan untuk proses rekonstruksi berasal dari hutan aceh dengan status legal menggunakan surat SKSHH [Surat Keterangan Sah-nya Hasil Hutan]. "Jika BRR tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi, maka itu membuktikan bahwa lembaga tersebut memiliki komitmen yang rendah untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat rekonstruksi dan indikasi ketidakjelasan dalam menjalankan mandat rekonstruksi, seperti yang diatur dalam Perpu Nomor 2/2005," katanya. Sebelumnya, BRR menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan, terkait pengunaan bahan material ilegal yang dipakai para rekanan. Namun, hanya bisa mengimbau para rekanan untuk tidak menggunakan material ilegal dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-tsunami karena pemegang regulasi ada di tangan Pemda NAD. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007