"Meski kedua daerah dataran tinggi, namun bila tidak adanya tanaman atau daerah tangkapan air di hulu, banjir potensial terjadi terlebih curah hujan cukup tinggi," katanya, di Padang, Kamis.
Menurutnya, konservasi lahan di daerah tinggi "dari hutan menjadi perkebunan" telah menyebabkan hilangnya daerah tangkapan air.
"Bila kaitannya dengan banjir di Solok ada kemungkinan di hulu Sungai Batang Gawan atau Batang Lembang tersebut minim pepohonan untuk menahan air," tambahnya.
Dengan intensitas curah hujan yang tinggi dalam beberapa waktu terakhir, tidak terelakkan banjir hingga satu meter lebih akan terjadi.
Dia mencontohkan banjir bandang yang menimpa Kota Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu dikarenakan bergantinya fungsi hutan sebagai pelindung menjadi area perumahan.
Hal ini juga terjadi di Sumbar atau Kabupaten Solok tersebut, banyaknya perkebunan dan perumahan yang mengambil alih fungsi hutan lindung menjadikan air dengan mudahnya mengalir tanpa bisa ditahan.
Terlebih bila dilihat drainase atau saluran air juga semakin sulit ditemukan di beberapa daerah.
"Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, swasta dan masyarakat sendiri sebelum melakukan konversi lahan," ujarnya.
Misalnya dalam menganalisis dan menghitung keuntungan dan kerugiannya dalam konversi lahan tersebut.
Banjir melanda Kota Solok dan Kabupaten Solok pada Kamis pagi. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumbar mencatat terdapat empat daerah yang terdampak banjir di Kota Solok yakni Koto Panjang, Kampai Tabu Karambia, Tanah Garam dan XI Korong dengan ketinggian air hingga 75 sentimeter.
Saat ini ada telah diungsikan 12 kepala keluarga dan 6 KK lainnya dievakuasi.
"Sedangkan di Kabupaten Solok terjadi di Kecamatan Kubung Nagari Selayo dengan ketinggian satu meter," kata perwakilan BPBD Sumbar Pagar Negara.
Pewarta: M R Denya Utama
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017