New York (ANTARA News) - Pelapor Khusus Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) bagi Hak Pendidikan minta Amerika Serikat (AS) mempertimbangkan reformasi terhadap undang-undang kepemilikan senjata, menyusul penembakan membabi buta di kampus Universitas Virginia Tech, Virginia, AS, minggu lalu, yang menewaskan 33 orang. Dalam pernyataan yang dikeluarkan di New York, Rabu, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Pendidikan, Vernor Munoz Villalobos, menyatakan kesedihan yang sangat mendalam atas pembantaian 16 April 2007 di Institut Politeknik dan Universitas Negeri Virginia itu yang menewaskan 33 orang termasuk mahasiswa program doktor dari Indonesia Partahi Mamora Halomoan Lumbantoruan dan si penembak sendiri Cho Seung-Hui, mahasiswa asal Korea Selatan. Villalobos mengutarakan keyakinannya bahwa pihak berwenang AS akan menjalankan penyelidikan yang seksama terhadap insiden itu. "Melihat kenyataan bahwa insiden-insiden serupa juga terjadi di lingkungan pendidikan dan lingkungan lainnya, saya berharap pemikiran baru serta pembahasan yang sudah dimulai di Amerika Serikat tentang perundangan-undangan kepemilikan senjata oleh rakyat umum akan mendorong masyarakat untuk mempertimbangkan kemungkinan undang-undang tersebut diperbaiki," katanya. Villalobos menekankan bahwa semua pihak memiliki hak terhadap lingkungan pendidikan yang aman dan terlindungi. "Menjadikan sekolah, universitas, mahasiswa, guru dan kalangan sipil lainnya sebagai target untuk alasan apapun, itu tidak bisa diterima," ujarnya. Villalobos yang menjadi pelapor khusus untuk Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss itu, dalam pernyataannya juga menyampaikan perasaan duka citanya terhadap para orangtua, keluarga, serta teman-teman para korban pembantaian di Universitas Virginia Tech. Penembakan tanggal 16 April di Virginia Tech merupakan yang terburuk dalam sejarah penembakan massal di Amerika Serikat. Menurut catatan, negara adi daya itu sebelumnya telah mengalami pembantaian serupa, yaitu pada 1 Agustus 1966 penembakan oleh penembak jitu Charles Whitma di Universitas Texas yang menewaskan 14 orang; penembakan 20 April 1999 oleh dua remaja di Columbine High School, Colorado menewaskan 13 orang; serta 21 Maret 2005 oleh seorang remaja di penampungan Indian di Red Lake, Minnesota, menewaskan sembilan orang. Menyusul pembantaian di Virginia Tech yang menewaskan 32 orang terdiri dari mahasiswa dan staf pengajar, berbagai kalangan di Amerika Serikat meminta pemerintahan George W Bush untuk memperketat kebijakan kepemilikan senjata. Permintaan antara lain disampaikan oleh persatuan walikota sejumlah negara bagian di AS, termasuk walikota Boston dan New York. Walikota Boston Thomas M. Menino, seperti dikutip The Boston Globe, menunjuk bahwa senjata-senjata yang dipakai Cho Seung-Hui untuk membunuh 32 orang dan kemudian menembak dirinya sendiri itu ternyata dibeli secara legal di negara bagian Virginia. Ia mengatakan, undang-undang kepemilikan senjata yang longgar di berbagai negara bagian seperti Virgina, bisa memberikan dampak buruk terhadap Boston, yaitu akan banyak senjata ilegal beredar di ibukota negara bagian Massachusetts tersebut. Sementara itu, Walikota New York Michael R. Bloomberg yang juga anggota koalisi walikota, mengatakan bahwa rata-rata setiap harinya ada 30 warga Amerika yang terbunuh dalam penembakan. (*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007