"Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memungkinkan kebebasan lalu lintas tenaga kerja antarnegara ASEAN, tetapi kepemilikan sertifikasinya harus diperjelas," kata Edy pada diskusi "Refleksi Akhir Tahun Pemerintahan Jokowi dan kontribusi KAHMI untuk Negeri" di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin.
Menurut Edy, dalam konteks pemberlakuan MEA seluruh negara anggota ASEAN telah menyepakati konsep aliran bebas tenaga kerja terampil (free flow of skilled labor) selain aliran bebas jasa (free flow of services) dan aliran bebas barang (free flow goods).
Adapun tenaga terampil yang disepakati negara-negara ASEAN sesuai "Mutual Recognition Arrangement (MRA)" ada delapan profesi yakni insinyur, perawat, arsitek, tenaga survei, dokter gigi, akuntan, jasa wisata, dan dokter.
"Tidak serta merta dapat keluar masuk, mereka harus tersertifikasi betul," kata mantan rektor UII itu.
Oleh sebab itu, menurut dia, apabila tenaga kerja asing yang telah keluar masuk di Indonesia saat ini banyak di antaranya adalah tenaga kasar maka hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kesepakatan dalam pemberlakuan MEA.
"Apabila yang tersebar di media sosial (medsos) benar maka tidak sesuai. Apalagi di Indonesia sendiri masih banyak pengangguran," kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Ketua Mahmakah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan 21.000 orang tenaga kerja kasar yang dikabarkan masuk Indonesia bisa jadi merupakan tenaga kerja ilegal.
Jika demikian, menurut dia, sebetulnya jumlah itu lebih sedikit dibandingkan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang tersebar di Arab Saudi dan Malaysia yang jumlahnya justru mencapai jutaan orang.
"Kalau tenaga asing itu ilegal maka tidak membahayakan, karena tinggal ditindak secara hukum dan dideportasi," kata dia.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017