Samarinda (ANTARA News) - Peneliti Yayasan Konservasi "Rare Aquatic Species of Indonesia" (RASI) Danielle Kreb mengungkapkan, populasi "Orcaella brevirostris" (Pesut Mahakam) atau lumba-lumba air tawar saat ini semakin terancam.
"Hingga saat ini, populasi Pesut Mahakam diperkirakan tersisa 75 hingga 80 ekor dengan wilayah jelajah hanya kawasan sungai di Kabupaten Kutai Kartanegara," ujar Danielle Kreb, dihubungi Antara dari Samarinda, Senin.
Namun Danielle Kreb mengakui, tidak bisa menyebutkan secara spesifik jumlah Pesut Mahakam yang tersisa, baik sejak 1997 maupun pada periode 2005 hingga 2016.
Pada 1997 lanjut dia, metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah populasi Pesut Mahakam, dilakukan berdasarkan pengamatan kerapatan dan penyebaran.
Kemudian tambah dia, pada periode 2005 hingga 2016, metode yang digunakan yakni melalui penghitungan sirip.
"Jumlahnya tidak bisa dipastikan sehingga masih perlu dilakukan penelitian mendalam sebab metode yang kami gunakan sejak 2005 sampai 2016, juga masih mungkin eror atau terjadi kesalahan. Kami pernah menghitung jumlah tertinggi hingga 90 ekor," ucap Danielle Kreb.
Angka kematian Pesut Mahakam kurun waktu 10 tahun terakhir yakni 2005-2015 menurut Danielle Kreb, tidak terlalu signifikan yakni rata-rata kematian 5 ekor per tahun.
Begitupun tingkat kelahiran Pesut Mahakam lanjutnya, juga tetap normal yakni 5-6 ekor per tahun.
Menurutnya, kualitas air Sungai Mahakam yang merupakan satu-satunya habitat lumba-lumba air tawar tersebut tidak terlalu berdampak signifikan pada kematian Pesut Mahakam tersebut.
"Selama ini, kami tidak pernah menemukan kematian anak pesut Mahakam, seperti yang terjadi di Sungai Mekong. Rata-rata, kematian pada pesut dewasa akibat terjaring dan ditabrak ponton. Sehingga, kualitas air Sungai Mahakam tidak terlalu berdampak pada populasi Pesut Mahakam tersebut," jelas Danielle Kreb.
Peneliti asal Belanda yang mulai melakukan pengamatan terhadap Pesut Mahakam sejak 1997 itu mengatakan, ancaman paling tinggi terhadap, satwa yang paling terancam punah di Indonesia tersebut yakni jaring nelayan.
"Pada 2016, terjadi lima kasus kematian Pesut Mahakam dan yang terbanyak karena terjaring dan yang kedua akibat ditabrak ponton," kata Danielle Kreb.
Ia menyebut, aktivitas ponton, baik milik perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun tambang batu bara di anak Sungai Mahakam menjadi ancaman baru populasi Pesut Mahakam tersebut.
"Pesut Mahakam banyak mencari makan di anak-anak sungai karena lebih mudah menangkap ikan dibanding pada sungai yang luas. Namun, saat ini sudah banyak aktivitas ponton di kawasan tersebut sehingga menjadi ancaman baru bagi mamalia air tawar itu," tutur Danielle Kreb.
Ia berharap, ada perhatian serius baik dari pemerintah maupun masyarakat teradap kelangsungan hidup Pesut Mahakam.
"Perlindungan Pesut Mahakam tidak bisa hanya dilakukan lah satu pihak, tetapi perlu komitmen bersama, baik pemerintah, masyarakat dan semua pemangku kepentingan, termasuk perusahaan yang banyak beroperasi di kawasan jelajah Pesut Mahakam, khususnya di anak Sungai Mahakam," kata Danielle Kreb.
Wilayah jelajah Pesut Mahakam kata dia yakni, di kawasan Kecamatan Muara Kaman hingga Kota Bangun termasuk di kawasan Sunga Kedang Rantau, Sunai Kedang Kelapa dan Belayan.
"Kalau dulu, di Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat, hampir setiap hari orang melihat Pesut Mahakam. Tapi saat ini, keberadaannya hanya di kawasan Kutai Kartanegara, itupun di beberapa lokasi saja, tetapi kemunculannya sudah sangat jarang akibat populasinya sudah jauh menurun," ujar Banielle Kreb.
Pewarta: Amirullah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017