Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengusir 35 diplomat asal Rusia menunjukkan satu hal, bahwa Washington telah mengaku kalah main sikut pengaruh di panggung dunia dari Moskow.
Kebijakan itu, menurut alasan Obama, adalah balasan atas serangan peretas Moskow terhadap data para petinggi Partai Demokrat yang "bertujuan mengintervensi atau menggerogoti proses pemilihan umum."
Tapi dengan mengusir puluhan wakil Kremlin, Obama secara tidak langsung mengakui kalau Rusia berhasil menjadi dalang di balik kemenangan calon dari Partai Republik, Donald Trump, dalam pemilihan umum Presiden Amerika Serikat.
Moskow sukses memainkan pengaruh mereka di negara, yang katanya, paling adidaya dengan anggaran pertahanan terbesar di dunia. Ibarat sepakbola, mereka menang di kandang juara bertahan. Ini adalah prestasi besar bagi Presiden Vladimir Putin.
Banyak pengamat yang menobatkan China sebagai calon pengganti Amerika Serikat di pentas internasional. Dalam perkara ekonomi, mungkin perkiraan itu benar. Tapi soal pengaruh, Beijing masih harus belajar banyak dari negara tetangganya di utara.
Besarnya pengaruh Rusia pada tahun ini tidak hanya nampak pada kemenangan Donald Trump.
Setidaknya ada tiga prestasi besar diplomasi Rusia pada tahun ini--baik dari saluran resmi maupun yang tidak. Yang pertama, negara ini keluar menjadi broker paling andal di pusat konflik dunia saat ini, Suriah.
Kedua, pengaruh lunak (soft-power) Moskow bisa membangkitkan sentimen anti-uni di Eropa.
Sementara yang ketiga, mereka berhasil menggagalkan upaya NATO--sebuah aliansi militer 28 negara yang didirikan dengan tujuan membendung pengaruh Uni Soviet pada masa Perang Dingin--untuk memperluas keanggotaan di wilayah Balkan.
Ketiga performa apik Rusia itu dicapai melalui tiga cara berbeda; (1) dengan jalur diplomatik resmi di Suriah, (2) dengan operasi intelejen rahasia di Balkan, (3) dengan menyebar berita palsu untuk membangkitkan sentimen anti-Uni Eropa.
Rusia di Suriah
Di Suriah, Kremlin adalah cengkau utama gencatan senjata dan rencana perundingan damai antara kubu pemerintah dan oposisi baru-baru ini. Inilah prestasi besar Putin dalam politik percaturan pengaruh melawan Obama di jalur diplomatik resmi.
Capaian ini sebenarnya telah dibangun jauh sejak tahun 2013. Saat itu, Amerika Serikat sudah hampir akan mengirim pasukan darat ke Suriah setelah muncul indikasi bahwa pasukan pemerintah telah menggunakan senjata kimia untuk membunuh lebih dari 1.400 orang.
Namun Putin bertindak cepat. Dia mendesak Presiden Bashar al Assad untuk mengeluarkan pernyataan akan menghancurkan seluruh cadangan senjata kimia di Suriah. Akibatnya, Obama tidak lagi punya legitimasi untuk melakukan gempuran darat dan hanya bisa mengirim pesawat udara.
Putin melengkapi terobosan diplomatik itu dengan strategi militer yang ciamik--meski dengan bencana kemanusiaan yang sangat besar. Dia tidak memilih untuk ikut menghabisi kelompok bersenjata ISIS di kota Raqqa bersama Amerika Serikat.
Putin justru mengkonsentrasikan sumber daya militernya ke Aleppo, tempat di mana gerilyawan moderat dan organisasi radikal turunan Al Qaeda bercampur menjadi satu.
Dengan merebut kota terbesar di Suriah itu, Putin membuat Barat kehilangan sekutu di darat--mengingat daerah lain, seperti Idlib dan Raqqa, dikuasai oleh organisasi yang masuk dalam daftar hitam terorisme.
Inilah yang membuat Rusia berada di atas angin dan mampu menjadi broker "perdamaian" di Suriah. Sementara Amerika Serikat, karena tidak lagi punya sekutu darat selain kelompok Kurdi yang juga diserang oleh Turki, terpaksa gigit jari dan mengalihkan kekuatan militer mereka ke Irak, terutama Mosul.
Rusia di Balkan
Jika Moskow mengalahkan Amerika Serikat dengan strategi formal di Suriah, cara yang jauh berbeda digunakan oleh Putin untuk membendung NATO di negara-negara Balkan seperti Montenegro.
Pada bulan lalu, majalah Foreign Policy, menulis berita dugaan keterlibatan Rusia dalam upaya asasinasi terhadap Perdana Menteri Montenegro, Milo Dukanovic, yang ingin menggabungkan diri dengan NATO.
Menjelang pemilihan umum di Montenegro, Rusia dikabarkan membiayai kampanye kelompok oposisi anti-NATO untuk mengalahkan Dukanovic. Saat upaya itu gagal, sekelompok preman berpakaian polisi berupaya menyusup ke kantor perdana menteri untuk membunuh Dukanovic.
Beruntung upaya itu gagal. Setelah pihak keamanan melakukan penyelidikan, tersangka utamanya adalah seorang warga Serbia yang turut berperang bersama kelompok separatis pro-Rusia di Ukraina bagian timur. Selain itu, pemerintah Serbia juga mengusir sejumlah warga Rusia karena diduga ikut terlibat dalam persenkongkolan di Montenegro.
Operasi rahasia itu tentu saja mengingatkan orang pada badan intelejen Amerika Serikat, CIA, yang juga sering melakukan hal yang sama pada masa Perang Dingin.
CIA, oleh parlemen negara sendiri, dianggap terbukti melakukan upaya pembunuhan terhadap tokoh-tokoh di Amerika Latin yang berafiliasi dengan komunisme seperti, Salvador Allende, Fidel Castro, dan Hugo Chavez.
Tapi kedigdayaan CIA itu kini telah beralih tangan ke Rusia. Meski gagal di Montenegro, mereka menunjukkan tanda keberhasilan di Bosnia dan Herzegovina. Moskow kabarnya berhasil mendesak pemimpin wilayah otonom Republika Srpska untuk memerdekakan diri, sehingga menghancurkan ambisi Bosnia dan Herzegovina untuk bergabung dengan NATO.
Rusia di Uni Eropa
Dalam dua kasus di Suriah dan Balkan di atas, terbukti bahwa Rusia memang berhasil menandingi kekuatan diplomatik dan intelejen dari Washington.
Namun Amerika Serikat punya perangkat lunak lain yang membuat negara itu sangat berpengaruh: Hollywood. Industri film terbesar di dunia ini, pada masa Perang Dingin, menjadi alat propaganda Washington untuk menyebar persepsi negatif terhadap komunisme dan Uni Soviet.
Rusia kini punya tandingan yang jauh lebih efisien karena berbiaya murah: berita palsu.
Dalam satu laporan panjang pada Agustus lalu, surat kabar The New York Times menyebut berita palsu sebagai "senjata Rusia yang ampuh."
Di Uni Eropa, Rusia kabarnya menjadi penggerak maraknya berita-berita palsu yang bertujuan untuk mendelegitimasi pemerintahan di blok beranggotakan 28 negara tersebut.
Di Jerman misalnya, media-media pro-Moskow menyebar berita yang terbukti palsu, yang menyatakan bahwa seorang anak gadis berusia 13 tahun telah diperkosa oleh beberapa pengungsi.
Berita-berita palsu yang menggambarkan sisi negatif para pengungsi itu kemudian harus dibayar mahal oleh kubu konservatif pimpinan Kanselir Angela Merkel yang kalah telah dalam pemilihan umum regional tahun ini.
Merkel dianggap bertanggung jawab karena menerapkan politik pintu terbuka terhadap jutaan pengungsi asal Suriah.
Persoalan yang sama juga dihadapi oleh Ceko. Menurut The New York Times ada lebih dari 40 laman berita pro-Moskow yang secara aktif menciptakan citra jahat Uni Eropa. Akibatnya, sekitar 52 persen penduduk negara itu kini memandang negatif otoritas di Brussel.
Tidak heran jika kemudian seorang jenderal Rusia memuji cara-cara nonmiliter itu.
"Penggunaan cara-cara nonmiliter untuk meraih sasaran strategis dan politis telah berkembang, bahkan dalam banyak kasus lebih efektif dibanding kekuatan senjata," kata mantan kepala staf umum angkatan bersenjata Rusia, Jenderal Valery Gerasimov, sebagaimana dikutip dari The New York Times.
Begitulah Rusia yang mencapai puncak pengaruhnya di dunia pada tahun 2016 di bawah kepemimpinan Putin.
Negara ini berhasil mengalahkan kekuatan diplomatik Amerika Serikat untuk kasus Suriah. Mereka membendung NATO dengan meniru gerak rahasia operasi intelejen CIA. Mereka juga menemukan metode yang jauh lebih efisien dari Hollywood untuk propaganda: berita palsu.
Atas kegemilangan itu--yang ironisnya diraih di atas bencana kemanusiaan--Putin layak mendapat gelar "Pria Tahun Ini" pada 2016. Sementara Rusia berhak menggantikan Amerika Serikat sebagai polisi dunia yang baru.
Oleh GM Nur Lintang
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2016