Sekalipunmenurut Windri, suami yang sudah bersamanya selama enam tahun itu cukuptempramental, namun belakangan dia tak pernah lagi berani main tangan padanya.
Kepadaawak media di Jakarta, Kamis siang ini, Windri memaparkan kronologi kejadianberdarah di malam Jumat, akhir Februari lalu, sembari sesekali air mata menetestanpa permisi. Berikut tuturannya:
Kamis, malam Jumat sayapamitan sama suami saya untuk pergi ke pegadaian, karena waktu itu kalung sayaputus. Suami dan anak-anak saya lalu menyusul saya ke pelelangan (pegadaian).Akhirnya kami pulang sama-sama. Waktu saya sampai rumah ternyata mereka belumsampai rumah. Mereka ke rumah Kasat Intel.
Enggak lama kemudian, anaklaki-laki saya berlari dari rumah kasat ke rumah karena jaraknya enggak jauhdari asrama. Setelah dia (suami) sampai, saya tanya kenapa televisinya enggakdimatikan, jendela enggak ditutup. Dia hanya bilang tadi buru-buru, anak-anakminta jemput mamanya.
Saya waktu itu enggak enakbadan, jadi saya tidur duluan di depan televisi. Saya sempat ketiduran. Sayaminta tolong anak laki-laki saya untuk memijat badan saya. Habis itu diabilang, udah ya ma suruh papa lagi.
Anak laki-laki sayamemanggil bapaknya untuk mijitin saya. Habis itu saya tidur lagi lalu terbangundengar suara anak-anak main air. Saya lihat anak perempuan saya sudah basahkuyup, saya marahin. Saya gantiin bajunya. Enggak lama giliran anak laki-lakisaya datang dengan baju yang basah. Sayamarahin.
Habis itu digendong samabapaknya. Bapaknya bilang, udahlah dek enggak usah dimarahin. Mereka lalu tidurdi kamar utama. Saya bilang ke anak-anak (sambil menangis), Bang Bian samadedek Ola itu nakal. Karena marah, saya tidur di kamar sebelah. Sudah itu sayatertidur lelap. Saya enggak dengar suara apa-apa, saya enggak dengar suaratangisan, jeritan.
Ketika saya bangun, sayahanya lihat Bang Kus di depan saya bawa golok. Habis itu saya tanya, kenapa pa?habis itu dia jawab, maafin papa ya dek. Lalu saya tanya, kau mau bunuh aku ya?Dia jawab iya. Habis itu saya bilang, tunggu dulu aku mau lihat anak-anak.
Dia bilang, anak-anak sudahenggak ada. Ini darahnya. Habis itu parangnya dia buang ke tempat tidur yangsaya tidurin. Pintu lalu saya tutup, lalu saya jalan ke kamar utama, saya lihatanak-anak sudah enggak ada dua-duanya. Saya masih sempat meluk Bang Kus.
Saya tanya, kau sadarenggak pa? Dia bilang sadar dan ini suruhan Tuhan. Mukanya Bang Kus itu pucatsekali. Saya masih berdialog lah sama dia. Sampai akhirnya saya haus dan mintaminum. Saat itu saya lari.
Saya keluar ke rumahtetangga sebelah. Dia mengejar sampai teras rumah saja. Setelah di rumahtetangga, saya langsung bilang, Biyan sama Ola sudah enggak ada. Kaki tangannyasudah enggak ada. Isterinya tetangga bilang, mbaknya mimpi kali mbak, takambilin minum ya.
Pas saya teriak, Pak Sofyandan Om Sukandi itu datang duluan. Saya dimasukan ke dalam rumah. Saya enggaktahu kegiatan di luar seperti apa. Habis itu saya disuruh ke rumahnya Kapolres.
Windrimengatakan, beberapa waktu sebelum kejadian, dirinya sempat meminta cerai padaPetrus. Alasannya karena perbedaan keyakinan antara mereka dan seringnya sangsuami pulang larut malam.
Karena beda agama, lalukarena dia seorang intel, sering pulang malam dan saya sering protes. Dari situsering berantem. Terakhir, saya meminta cerai. Dia selalu posesif sama saya.Saya kemana-mana dibuntutuin.
Setelahkejadian, Petrus lalu digelandang ke Mapolres Melawi dan Polda Kalimantan Baratuntuk diperiksa hingga berujung sidang di pengadilan. Pihak majelis hakim dalamsidang putusan 1 Desember lalu akhirnya memutuskan Petrus bebas.
Ketuamajelis hakim, mengatakan, sesuai ketentuan Pasal 44 KUHP, terdakwa PetrusBakus tidak dapat dijatuhi pidana dan lepas dari segala tuntutan hukum,lantaran dianggap sakit jiwa atau gila.
Merasasang suami tak menunjukkan tanda-tanda gangguan jiwa, Windri lantas memintabantuan Komnas Perlindungan Anak agar Mahkamah Agung (MA), mempertimbangkankembali putusan bebas suaminya itu.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016