"Menyatakan terdakwa Mohamad Sanusi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu pertama dan pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana selama tujuh tahun dan denda Rp250 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama dua bulan," kata Ketua Majelis Hakim Sumpeno dalam sidang pembacaan vonis di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang menuntut agar Sanusi divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik bagi Sanusi selama 5 tahun setelah ia menjalani hukuman.
"Mengenai pencabutan hak politik, majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum karena masalah politik telah diatur dalam undang-undang tersendiri dan masyakaat yang akan menentukan pilihannya," tambah Sumpeno yang didampingi oleh Masud, Baslin Sinaga, Ugo dan Anwar sebagai anggota majelis hakim.
Putusan itu berdasarkan dua dakwaan berlapis yaitu pasal 12 huruf a UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP dan dakwaan kedua pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam dakwaan pertama, Sanusi dinilai terbukti menerima Rp2 miliar dari mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman Trinanda Prihantoro agar Sanusi mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP) serta mengakomodasi pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman Widjaja.
Uang itu diberikan pada 28 dan 31 Maret 2016 melalui Trinanda yang merupakan staf Ariesman. Sebelum menerima uang itu Sanusi melakukan beberapa pertemuan dengan pengusaha reklamasi lain untuk membicarakan RTRKSP.
Pertemuan pertama terjadi di rumah pemilik Agung Sedayu Grup Sugianto Kusuma alias Aguan yang dihadiri Sanusi dan anggota DPRD DKI Jakarta yaitu Mohamad Taufik, Mohamad Sanusi, Prasetyo Edy Marsudi, Mohamad Sangaji, Selamat Nurdin serta Ariesman Widjaja. Pertemuan selanjutnya dilakukan di kantor PT Agung Sedayu Grup lantai 4 antara Aguan, anaknya Richard Halim dan Ariesman.
Dalam pertemuan itu dibicarakan proses pembahasan RTRKSP dengan Ariesman mengatakan keberatan mengenai pasal yang memuat tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual.
Akhirnya, pada 3 Maret 2016 di Kemang Village Jakarta Selatan disepakati Rp2,5 miliar untuk Sanusi dari Ariesman.
Dalam dakwaan kedua, hakim menilai bahwa Sanusi terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang hingga miliaran rupiah dengan melakukan pembelian aset berupa rumah dan apartemen hingga mobil mewah yang tidak sesuai dengan profil pendapatannya.
Hakim berpendapat bahwa penerimaan Sanusi sebagai anggota DPRD dan pengusaha tidak sepadan dengan harta miliknya.
Dalam catatan hakim, pada September 2009 - April 2016 Sanusi menerima penghasilan resmi setiap bulannya dari gaji,tunjangan sebagai anggota DPRD DKI Jakarta sebesar Rp2,237 miliar. Pendapatan itu masih ditambah penghasilan lain sebagai direktur PT Bumi Raya Properti, uang sewa dan penghasilan lain sejak 2009-2015 sebesar Rp2,6 miliar sehingga totalnya mencapai Rp4,8 miliar.
Namun Sanusi memiliki harta yaitu rumah dan bangunan "Sanusi Center" di Kramat Jati, dua unit apartemen Thamrin Executive Residence Tanah Abang, tanah dan bangunan di Vimala Hills, satu apartemen SOHO Pancoran, satu apartemen Callia, satu apartemen Residence 8 Senopati, rumah di Permata Regency, rumah di Jalan Saidi Cipete Jakarta serta mobil Audi serta mobil Jaguar yang jumlahnya mencapai Rp45,28 miliar yang diduga merupakan pembayaran Direktur Utama PT Wirabayu Pratama Danu Wira dan pengusaha lain.
"Majelis tidak sependapat dengan pembelaan kuasa hukum terdakwa yang menyatakan terdakwa memiliki kekayaan dari keuntungan penjualan PT Citicon menjadi PT Bumiraya Properti karena tidak ada catatan berapa uang untuk korporasi dan berapa untuk terdakwa padahal pemilik saham bukan hanya terdakwa sehingga harta terdakwa 2009-2016 patut diduga merupakan hasil tindak pidana," kata anggota majelis hakim Ugo.
Sehingga aset-aset tersebut harus dirampas untuk negara, namun hakim hanya mengabulkan sebagian perampasan harta kekayaan Sanusi.
"Tanah dan bangunan di Kramat Jati yang berdasarkan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) adalah milik Danu Wira maka akan dikembalikan ke Danu Wira dan kalaupun sekarang digunakan oleh Sanusi untuk Sanusi Center disewa 75 juta per tahun," tambah hakim Ugo.
Harta selanjutnya yang dikembalikan adalah Satu unit tanah dan bangunan di Jalan Saidi No 23 Rt 011 Rw 007 Cipete Utara Kebayoran Baru seluas 410 meter persegi seharga Rp16,5 miliar yang diatasnamakan Jeffry Setiawan Tan, mertua Sanusi dari istri Evelin Irawan.
"Rumah di Jalan Saidi dibeli oleh mertua terdakwa dengan nilai Rp16,5 miliar dan dibayar terdakwa Sanusi dengan pinjaman Rp900 juta sudah dikembalikan ke Danu Wira. Jadi rumah harus dikembalikan ke Jeffry Setiawan Tan dan tidak serta merta dikembalikan ke terdakwa dan kalaupun terdakwa membayar Rp6 miliar untuk furniture hal itu bisa saja karena terdakwa bukan hanya anggota DPR tapi juga pengusaha," tambah hakim Ugo.
Harta selanjutnya yang dikembalikan adalah Satu unit tanah dan bangunan di jalan Haji Kelik Komplek Perumahan Permata Regency Glok F Kembangan Jakarta Barat seluas 206 meter persegi seharga Rp7,35 miliar atas nama istri pertama Sanusi Naomi Shallima.
"Tanah dan bangunan di Permata Regency atas nama Naomi Shallima dan sedang KPR (kredit perumahan) dikembalikan ke Naomi Shallima meski dibayari Danu Wira tapi sudah dikembalikan pada 2014 sehingga sah-sah saja dan tidak dilarang. Namun harta selebihnya yang lain dan tidak bisa dibuktikan sepantasnya dirampas oleh negara karena sudah memenuhi perbuatan terdakwa," ungkap hakim Ugo.
Atas putusan itu Sanusi menyatakan pikir-pikir.
"Alhamdulilah pada dasarnya saya yakin seperti yang saya sampaikan di awal, saya disini karena Allah yang mengatur dan pada prinsipnya saya merasa ini bagian yang sudah diatur Allah, tapi saya mohon izin karena Pak Maqdir (pengacara Sanusi) sakit, saya minta waktu untuk diskusi. Tapi saya pribadi, saya terima ini bagian Allah yang sudah diatur untuk saya jalani," kata Sanusi terbata-bata.
"Jadi masih pikir-pikir?" tanya hakim Sumpeno.
"Karena Pak Maqdir sakit, saya mohon izin untuk diskusi dengan beliau," jawab Sanusi.
Sedangkan JPU KPK juga menyatakan pikir-pikir.
"Kami pikir-pikir," kata JPU KPK Mungki Hadipraktikto.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016