Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menilai pemerintah perlu berkoordinasi dengan sektor perbankan untuk mengatur waktu penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) agar perang perebutan likuiditas dapat diminimalisir.
"Timing (waktu) penerbitan SBN, jangan sampai bentrok dengan penerbitan obligasi dari perbankan agar cost of fund (biaya penghimpunan dana) perbankan bisa lebih murah," ujar Bhima di Jakarta, Kamis.
Per 9 November 2016, perbankan memiliki SBN yang dapat diperdagangkan senilai Rp435,13 triliun, naik 12,99 persen dibanding posisi per 4 Januari 2016.
Porsi kepemilikan SBN rupiah oleh bank mencapai 24,73 persen dari total SBN rupiah yang dapat diperdagangkan.
Pemerintah sendiri menerapkan kebijakan pencarian utang lebih awal (prefunding) untuk belanja fiskal awal 2017 sebesar Rp116 triliun. Dalam merealisasikan strategi prefunding tersebut, pemerintah berencana menerbitkan SBN sekitar Rp63,5 triliun.
Di sisi lain, imbas hasil (yield) yang ditawarkan SBN juga relatif tinggi yakni 8-9 persen sehingga perbankan juga harus mengeluarkan biaya tinggi dalam menghimpun dana.
"Waktu penerbitan SBN menjadi isu krusial karena seringkali berdekatan dengan penerbitan instrumen deposito atau surat utang perbankan," ujar Bhima.
Bhima menambahkan, miskoordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter mengakibatkan perbankan saling berebut dana, yang pada akhirnya biaya penghimpunan dana perbankan masih mahal hingga kini.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016