Jakarta (ANTARA News) - Perjanjian ekstradisi di antara Indonesia dan Singapura yang dijadwalkan ditandatangani pemerintah kedua negara pada 27 April 2007 tidak akan menjamin pengembalian atau pemulihan (recovery) aset Indonesia, jika Singapura belum menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2003 tentang Anti-korupsi. "Ektradisi tidak cukup, jika tidak disertai ratifikasi konvensi PBB," kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko, di Jakarta, Rabu. Dalam konvensi PBB tersebut, khususnya yang mengatur tentang pemulihan aset, dinyatakan bahwa suatu negara yang telah berkomitmen dengan menandatangani konvensi berkewajiban membantu negara lain dalam pengembalian aset. Dalam hal ini, kata Danang, Singapura bisa saja berkelit untuk mengembalikan aset Indonesia yang berada di negara tersebut, karena Singapura belum menandatangani Konvensi PBB. "Singapura tidak mau tandangan konsvensi anti-korupsi PBB 2003," katanya. Ddia mengatakan, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura hendaknya tidak hanya memperhatikan kepentingan kedua negara. Perumusan kesepakatan dalam perjanjian tersebut seharusnya juga memperhatikan sejumlah konvensi tingkat internasional, sehingga memiliki kekuatan hukum yang lebih mengikat. Dengan begitu, katanya, perjanjian ekstradisi di antara Indonesia dan Singapura juga efektif dalam menyelesaikan kejahatan trans-nasional selain korupsi. Sementara itu, Danang tidak meragukan keinginan pemerintah Indonesia untuk memulihkan aset Indonesia yang berada di Singapura. Hal itu salah satunya ditunjukkan dengan diratifikasinya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Antikorupsi. Namun demikian, menurut dia, komitmen Indonesia itu juga harus ditunjukkan dengan memfokuskan pada pengembalian aset yang dilarikan beberapa koruptor kelas kakap ke Singapura. Untuk itu, dalam naskah perjanjian ekstradisi juga harus dicantumkan ketentuan retroaktif (berlaku surut), sehingga pelarian aset negara yang terjadi beberapa tahun silam bisa diproses. "Kalau (retroaktif-red) cuma lima tahun tidak cukup," kata Danang. Seharusnya, menurut dia, ketentuan retroaktif dalam perjanjian ekstradisi minimal sepuluh tahun. Hal itu disebabkan sebagian besar kejahatan publik yang merugikan negara terjadi setelah reformasi pada 1998. Ketentuan retroaktif adalah salah satu ketentuan dalam naskah perjanjian ekstradisi yang paling terakhir disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Singapura. Dari total 19 pasal yang ada dalam naskah perjanjian ekstradisi, perundingan antara pemerintah kedua negara masih menyisakan pembahasan dua pasal. Hal itu dinyatakan Menteri Luar Negeri RI Dr. Nur Hassan Wirajuda sebelum dicapai kesepakatan untuk meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut. "Tujuh belas pasal sudah selesai. Dua pasal itu, lebih pada masalah teknis sebetulnya, teknis hukumnya, antara lain, tentang retroaktif. Walaupun Singapura juga tidak serta merta menolak, tapi dalam perundingan beberapa lama, itu yang dinegosiasikan," kata Menlu. Sementara itu, senada dengan Danang Widoyoko, anggota Komisi I Djoko Susilo mengatakan bahwa pemerintah perlu memastikan apakah uang yang dibawa kabur oleh para koruptor Indonesia bisa dikembalikan ke Indonesia setelah penandatanganan perjanjian ekstradisi tersebut. Menurut Joko, subtansinya bukan hanya soal pasir, tetapi Singapura menjadi penadah uang-uang hasil korupsi dan penjarahan warga Indonesia. "Soal itu belum tuntas dibahas atau diperjelas dalam pasal-pasalnya," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007