Tepat 26 Desember 2016 ini, 12 tahun sudah berlalu musibah bencana alam gempa tektonik berkekuatan 9,1-9,3 skala Richter (SR) yang disusul dengan tsunami di Aceh,. Bencana dahsyat itu menelan 130.736 korban jiwa dari perkiraan 167.799 orang.
Pada saat itu, gelombang tsunami meluluhlantakkan tanah Aceh. Dahsyatnya gempa tersebut terasa sampai Sri Lanka, India, Thailand, Maladewa, dan Somalia.
Trauma akan gempa tersebut, sampai sekarang masih dirasakan oleh warga di Aceh. Seperti saat terjadi gempa tektonik berkekuatan 6,5 SR di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh pada 7 Desember 2016, warga pun kembali mengingatkan akan peristiwa yang tidak bisa dilupakan itu.
Mereka berlarian naik ke dataran yang lebih tinggi meski gelombang tsunami itu tidak ada. Terutama mereka yang tinggal di tepian pantai.
Seperti pengalaman warga Pidie Jaya yang tengah hamil, Murniati, dirinya langsung bergegas lari ke belakang rumah yang tanahnya lebih tinggi. Tidak hanya dirinya sendiri, tapi sejumlah santri yang mondok di sebelah rumahnya ikut berhamburan ke arah bukit.
Para santri itu semula hendak shalat Subuh, namun saat akan masuk ke masjid terjadi goyangan. Gurunya memerintahkan para santi untuk meninggalkan masjid," katanya.
Gempa bumi pada 26 Desember 2004 itu, masih juga belum menghilang dari memori pikiran mereka. Gempa bumi akibat lempeng Hindia disubduksi oleh lempeng Burma sehingga menghasilkan tsunami yang mematikan khususnya di pesisir yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Ketinggian gelombang saat itu mencapai 30 meter.
Untuk memperingati musibah bencana alam itu, digelar sejumlah acara di Aceh. Pemerintah Aceh menggelar zikir bersama dan memberikan santunan kepada 600 anak yatim di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh.
"Melalui zikir bersama, kita berdoa agar Aceh terhindar dari berbagai musibah dan cobaan," kata Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Soedarmo.
Warga pun diminta memetik hikmah dari berbagai musibah yang terjadi di Aceh dan menjadikannya sebagai pelajaran untuk memperbanyak kebajikan dan memperkuat solidaritas.
Doa bersama juga digelar di masjid, meunasah serta tempat umum lainnya di Sabang, Aceh.
"Sebagai umat beragama sudah sepatutnya kita saling mendoakan apalagi musibah tsunami menelan ratusan ribu nyawa," kata Heri, warga Kota Sabang saat doa bersama di Pantai Paradiso.
Ia yang mengaku keluarganya tidak ada yang menjadi korban dalam bencana alam itu mmengajak untuk bangkit dan jangan terlena atas musibah bencana alam tersebut.
"Kita tidak sewajarnya larut dalam kesedihan dan sekarang tsunami sudah 12 tahun berlalu, Aceh pun telah bangkit pascamusibah tsunami," katanya.
Khususnya di Sabang saat tsunami 2004, tidak banyak menelan korban. "Sabang tidak separah Banda Aceh, Meulaboh dan sekitarnya. Kalau tidak salah, jumlahnya (korban, red) sekitar delapan orang. Ada juga rumah warga yang rusak parah dan ringan," kata warga Sabang, Rudy.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat mengajak semua lapisan masyarakat untuk menjadikan momentum peringatan tsunami sebagai bahan intropeksi diri mempersiapkan diri dengan adanya potensi bencana alam seperti 12 tahun silam.
Plt Bupati Aceh Barat Rachmad Fitri HD mengatakan, gempa dan tsunami telah dirasakan rakyat Indonesia berada di Aceh-Nias bencana serupa bisa terjadi kembali sehingga butuh semua kesiapan dalam mitigasi bencana dengan membudayakan hidup siaga bencana.
"Kita tidak dapat melupakan peristiwa 12 tahun lalu itu, diawali dengan gempa dan disusul tsunami menghancurkan Aceh Barat, merengut ratusan ribu korban jiwa. Tentunya dari kejadian itu banyak pelajaran berharga terutama pelajaran agar kita membudayakan siaga bencana dalam kehidupan sehari-hari dan tidak mengulangi kesalahan sampai mengundang bencana datang," katanya.
Rachmad menyampaikan, acara ini akan selalu dilaksanakan untuk mengigatkan anak cucu dan sebagai bentuk penghormatan mengenang peristiwa gempa tsunami, kemudian sebagai intropeksi masa lalu dan menjadi pedoman pada masa mendatang tidak melakukan kesalahan mengundang bencana.
Dia menyampaikan, momen peringatan setiap tahun bencana tsunami itu akan menjadikan langkah awal mempersiapkan masyarakatnya untuk siaga bencana dan menekan risiko bencana dihadapi masyarakat apabila bencana serupa kembali datang.
Menjadi langkah mengantasipasi, bencana alam yang pasti terjadi, hanya waktunya saja kapan belum diketahui. Tsunami memang telah terjadi namun bencana lain banjir, tanah longsor, gempa bahkan tsunami bisa muncul lagi, kita harus persiapkan diri menghadapi semua itu," sebutnya.
Lebih lanjut dikatakan, dalam upaya mitigasi bencana pemerintah tidak menutup mata, namun telah melakukan upaya-upaya pencegahan tersebut dengan pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur serta mempersiapkan pembangunan untuk jangka pendek dan jangka panjang dalam mitigasi bencana.
Rachmad yang juga Wabub Aceh Barat itu mengajak semua lapisan masyarakat untuk mendoakan keluarga yang telah tiada, baik yang meningal dalam musibah gempa maupun saat tsunami agar mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah SWT.
Puing jadi objek wisata
Puing-puing sisa gempa tektonik 9,3 Skala Richter dan gelombang tsunami 12 tahun lalu, sekarang menjadi objek wisata unggulan Aceh.
Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Banda Aceh yang juga korban tsunami Siti Jihadun Nufus kepada Antara mengakui, banyak pelaku usaha traveler menjual paket wisata di Banda Aceh berkunjung ke objek wisata sisa tsunami.
"Setiap paket wisata yang dijual pasti dalam itenery-nya ada kunjungan ke situs tsunami, seperti Kapal PLTD Apung (Punge Blang Cut), Kapal di atas Rumah (Lampulo) serta kunjungan ke Museum Tsumani," katanya.
Guncangan gempa yang disusul tsunami pada 26 Desember 2004 diperkirakan mengakibatkan sekitar 170.000 jiwa warga Aceh menjadi korban keganasan gelombang laut yang bercampur lumpur. Gelombang tsunami itu juga berdampak sampai Malaysia dan Thailand.
Ketua HPI Kota Banda Aceh itu juga mengakui, sering memandu sejumlah wisatawan lokal maupun asing yang berwisata ke Aceh ke objek-objek wisata tersebut.
"Ketika saya pandu para wisatawan mancanegara yang menumpangi Kapal Pesiar MS Silver Discovery waktu itu ada yang sampai meneteskan air mata mendegar cerita musibah tsunami yang melanda Aceh," kata Jihan, yang saat kejadian itu masih berusia 12 tahun.
Kapal PLTD Apung bobotnya 2.600 ton menjadi saksi bisu tragedi tsunami. Kapal yang semula disiagakan Pelabuhan Ulee Lheue itu dihempas gelombang laut sekira satu kilometer ke daratan, ke permukiman penduduk di Gampon Punge Blang Cut, Banda Aceh.
"Di lokasi Kapal PLTD Apung para wisman dengan seksama mengamati sisa-sisa bangunan tsunami sembari mengabadikan sejumlah gambar di lokasi yang dianggap menarik," katanya.
Oleh Riza Fahriza
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016