Jakarta (ANTARA News) - Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang akan ditandatangani di Bali, Jumat, merupakan perkembangan positif bagi penegakan hukum Indonesia, karena setelah adanya perjanjian itu para koruptor atau pelaku tindak pidana lainnya tak bisa lagi menjadikan negara pulau itu sebagai surga persembunyian mereka. "Perjanjian ekstradisi itu meskipun kelihatannya mendadak, tapi sebenarnya sudah diupayakan sejak lama. Dan dengan adanya perjanjian ini merupakan langkah positif bagi penegakan hukum di Indonesia," kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, kepada ANTARA di Jakarta, Rabu, saat dimintai tanggapannya atas perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura. Tentunya, lanjut dia, melalui perjanjian tersebut diharapkan Singapura tidak lagi jadi surga bagi para koruptor dan pelaku tindak pidana di Indonesia. Namun demikian, ia mengingatkan agar masyarakat jangan berharap terlalu tinggi dalam menangkap atau menjerat para koruptor dan tindak pidana lainnya pada masa lalu yang bersembunyi di Singapura, karena perjanjian itu tidak serta merta bisa dipergunakan karena masih perlu dilakukan ratifikasi oleh DPR dan parlemen Singapura. "Jangan-jangan selama proses ratifikasi, para koruptor sudah tidak ada lagi di Singapura dan lalu ke negara lain yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia," ungkapnya. Ia menambahkan di masa mendatang, dengan adanya perjanjian ekstradisi diharapkan dapat mengurangi praktek-praktek korupsi dan tindak pidana lainnya di Indonesia, karena mereka semakin sulit mendapatkan tempat persembunyian seperti di Singapura. "Dengan adanya perjanjian tersebut, ruang gerak para pelaku korupsi dan tindak pidana semakin dipersempit," ungkapnya. Hati-Hati Sementara itu, sejumlah kalangan memperingatkan agar pemerintah benar-benar bersikap hati-hati sebelum menyepakati seluruh pasal yang tertuang dalam perjanjian ekstradisi yang akan ditandatangani pada 27 April mendatang, di Bali. "Kita sudah terlalu lama untuk menyepakatinya. Singapura terlalu sering mengulur-ulur waktu untuk menyepakati perjanjian ekstradisi. Jangan sampai kita `dikadalin` lagi," kata Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen, Abdillah Thoha. Pemerintah, harus benar-benar mencermati setiap pasal demi pasal hingga ke depan Indonesia tidak begitu saja mudah dikelabui oleh Singapura dan berujung kerugian besar bagi Indonesia. Tidak itu saja, tambah Abdillah, pemerintah juga harus membeberkan secara terbuka apa saja isi yang diatur dalam perjanjian ekstradisi tersebut. Hal senada diungkapkan, anggota Komisi I DPR, Djoko Susilo yang mengemukakan pemerintah diminta agar lebih mencermati subtansi jangka panjang perjanjian ekstradisi dengan Singapura, terutama terkait dengan kejahatan kerah putih (white collar crime). "Jangan pikirkan kepentingan jangka pendek soal pasir, lalu mereka teken. Masih ada pasal-pasal yang belum jelas. Dan jangan sampai ini sebagai akal-akalan Singapura saja yang masih melindungi penjahat kerah putih Indonesia," tuturnya. Ia mengatakan beberapa pasal yang belum tegas mengenai apakah uang yang dibawa kabur oleh para koruptor Indonesia bisa dikembalikan ke Indonesia setelah penandatanganan perjanjian ekstradisi. Menurut Joko, subtansinya bukan hanya soal pasir, tetapi Singapura menjadi penadah uang-uang hasil korupsi dan penjarahan warga Indonesia. "Soal itu belum tuntas dibahas atau diperjelas dalam pasal-pasalnya," ungkapnya. (*)
Copyright © ANTARA 2007