Bekasi (ANTARA News) - Dua orang pria berpeci dan mengenakan sarung melingkar di pinggang berdiri sambil membantu mengarahkan lalulintas di depan dua gereja di Kampung Sawah, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, Sabtu malam.
Gereja Katolik St Servatius dan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah yang letaknya berdekatan dengan Masjid Besar Al Jauhar membuat umat lintas agama saling berinteraksi pada malam Natal.
Beberapa pemuda dari Masjid Besar Al Jauhar mencarikan lahan parkir bagi jemaat dua gereja yang jarak antar bangunannya hanya sekira 150 meter. Pemuda itu juga membantu lansia turun dari kendaraan umum kemudian menyeberangkannya ke depan gereja.
Nilai toleransi pun terlihat saat ibadah Misa akan digelar pada Sabtu petang. Saat itu masjid tidak menggunakan pengeras suara terlalu kencang. Tiap-tiap umat beribadah sesuai keyakinan, ada yang Sholat, ada juga yang Misa, namun ketika selesai mereka kembali membaur di luar untuk saling menyapa dan mengucapkan Selamat Natal.
Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Katolik St Servatius, Matheus Nalih, mengatakan bahwa toleransi di Kampung Sawah sudah terbentuk sejak dahulu kala.
"Kalau mau diceritakan sejak dahulu kala, bahkan sejak abad 18. Masjid dekat dengan Gereja Protestan, juga berdekatan dengan Gereja Katolik," kata Matheus Nalih di lokasi usai Misa Natal, Sabtu.
Nalih (52) yang merupakan putra asli Kampung Sawah mengatakan toleransi antar beragama di wilayah berjalan beriringan dengan penerapan Budaya Betawi yang kental.
Menurutnya, Budaya Betawi memang menjadi salah satu identitas warga Kampung Sawah. Namun hal utama yang membuat toleransi beragama terbentuk di situ adalah kearifan lokal yang menjadi akar budaya Kampung Sawah sehingga walaupun banyak pendatang, sikap toleran tidak akan hilang melainkan terbentuk terus menerus.
"Kearifan lokal warga Kampung Sawah terbentuk karena sejak dahulu sudah terdiri dari beberapa agama dan suku. Tidak heran jika dalam satu keluarga, Bapaknya Islam dan Ibunya beragama Kristen. Merayakan hari raya sama-sama," ujarnya.
Tidak hanya itu, Nalih mengatakan bahwa dalam beberapa tahun yang lalu warga muslim sudah biasa membantu pembangunan gereja dan warga non-muslim membantu masjid.
"Gotong-royong sangat luar biasa antar warga muslim, Kristen dan Katolik. Bahkan ada Hindu dan Budha juga," kata dia.
Tak terpancing isu
Akar budaya menerima keberagaman itulah yang membuat kehidupan antar umat beragama di Kampung Sawah tetap terjaga selalu rukun. Nalih mengatakan jika ada isu SARA yang berhembus, warga kampungnya tidak terpancing hingga terbakar emosi.
"Kalau di sini, isu dari luar berhenti di telinga. Tidak terbakar karena yang berbeda agama juga sesama warga bahkan satu keluarga Kampung Sawah," kata Nalih.
Seorang umat muslim sesuai menuaikan Sholat Isya di Masjid Al Jauhar mengatakan warga Kampung Sawah sangat bangga dengan identitasnya sebagai warga negara yang toleran sehingga tidak mau terpancing isyu yang memancing gesekan antar umat.
"Kami tidak mau mencoreng nama kampung kami yang sudah dikenal toleran. Biarkanlah yang ribut, kami warga yang bangga dengan keberagaman. Setiap Lebaran dan Natal, rasanya sangat meriah jika bersama-sama begini," kata Alimudin warga Kampung Sawah saat melintas di depan gereja.
Seorang ibu yang memiliki warung kopi di pinggir jalan dekat gereja itu juga berharap keberagaman ini bertahan hingga anak cucu.
"Saya muslim, mereka Kristen. Ibadah masing-masing tapi saat bermasyarakat kita sama-sama, semoga akur terus sampai anak cucu nanti," katanya.
Matheus Nalih mengatakan bahwa akar budaya toleransi dan menerima perbedaan adalah benteng utama warga Kampung Sawah sehingga tidak terpancing isu dari luar.
Dialog Lintas Agama
Sikap toleransi antar umat beragama di Kampung Sawah tidak hanya terwujud dalam prosesi peribadatan atau perayaan hari raya.
Warga setempat dan pemuka agama juga kerap menggelar dialog lintas agama yang membahas keragaman budaya dan agama di Kampung Sawah. Kegiatan itu dijadikan ajang saling mengeluarkan pendapat dan mencari solusi atas permasalahan domestik di sana.
"Ada kegiatan namanya "Ngeriung Bareng" untuk mengumpulkan perwakilan tokoh lintas agama dan akademisi. Biasanya membahas komitmen bersama agar Kampung Sawah tetap harmonis," ucap Nalih.
"Melalui giat Ngeriung Bareng yang kental dengan budaya Betawi itu, dibahas juga masalah dan solusi atas kejadian-kejadian tertentu," lanjut dia.
Selain Ngeriung Bareng, juga ada kegiatan bertema "Sedekah Bumi" yang digelar setiap tanggal 13 Mei. Kegiatan itu digelar dengan nuansa adat Betawi yang kental sebagai identitas warga Kampung Sawah.
"Sedekah Bumi Setiap 13 Mei. Momen itu menjadi sistem persaudaraan kami," katanya
"Keberagaman yang ada di Kampung Sawah sebenarnya bagian kecil dari Indonesia yang memang beragam suku dan agama sejak dahulu," pungkas Nalih.
Oleh Alviansyah Pasaribu
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016