Jakarta (ANTARA News) - Bisa berbincang langsung dengan Perucha Hutagaol alias Trinity adalah sebuah kesempatan langka karena penulis “The Naked Traveler” ini sibuk melancong ke penjuru dunia.


Berawal dari seorang pegawai kantor yang harus menyiasati libur dengan cuti yang terbatas, Trinity memutuskan untuk berhenti bekerja dan menikmati kecintaannya melancong.


Jauh sebelum buku-buku panduan melancong bertebaran di toko buku, Trinity sudah mulai menulis kisah-kisah perjalanannya dalam blog “Naked Traveler” (naked di sini adalah plesetan dari “nekad”) pada 2005. Dua tahun kemudian, buku perdananya “The Naked Traveler” diterbitkan.


Kini, tulisan Trinity yang telah mengunjungi 80 negara sudah diterbitkan ke dalam 13 buku. Tujuh di antaranya adalah serial “The Naked Traveler”, edisi teranyar diterbitkan pada pertengahan 2016.


Kisah serunya melancong juga sedang diadaptasi ke layar lebar dengan judul “Trinity, The Nekad Traveler” yang rencananya tayang tahun depan.


Pada pertengahan Desember, Trinity berbincang dengan ANTARA News mengenai tempat yang ingin dikunjunginya, evolusi satu dekade sebagai penulis dan pelancong, hingga berapa lama ia betah tinggal di Jakarta.


Tanya (T): Sekarang sedang sibuk apa?

Jawab (J): Masih promo buku karena baru nerbitin sama film (Trinity, The Nekad Traveler).


T: Bagaimana ceritanya buku Trinity diadaptasi menjadi film?

J: Jadi memang dari dulu sudah ada beberapa production house yang menghubungi, tapi memang aku jatuhnya sama yang ini, Tujuh Bintang Sinema, karena mereka pembaca bukuku. Jadi, mereka sudah tahu apa yang aku lakukan, bayangannya bagaimana, saudaranya siapa, itu sudah lengkap. Jadi ya sudah, meski pun mereka adalah rumah produksi yang masih baru ya… Akhirnya aku menjual hak cipta adaptasi buku ke film.


T: Plot untuk film diambil dari cerita yang paling menarik atau bagaimana?

J: Dari buku pertama, dari awal saat-saat si Trinity alias gue baru mulai masih dari mbak-mbak kantoran, bagaimana dia menjadi penulis kemudian jadi travel blogger.


T: Film itu diadaptasi dari buku pertama, sedangkan sekarang sudah ada tujuh buku. Apakah akan ada kelanjutan filmnya?

J: Mudah-mudahan. Berharapnya sih begitu, biar tambah banyak duitnya (tertawa). Biar bisa jalan-jalan lagi.


T: Sejauh mana keterlibatan Trinity dalam film?

J: Begini, di Indonesia itu, sebagai penulis yang dibeli hak adaptasinya memang istilahnya beli putus ya. Kita enggak punya hak apa-apa, misalnya kita enggak bisa memutuskan pemainnya, “pokoknya kita mau si ini”, itu enggak ada. Tapi untungnya si rumah produksi ini masih melibatkan aku, seperti diskusi tentang skenario atau pun minta pendapat, karena kan harus dijagain ya. Itu kan image aku juga, orang ceritanya tentang diri(ku) sendiri.


Tapi tentu ada fiksinya juga, harus ada cerita cinta (untuk kebutuhan film). Ceritanya tidak diambil dari semuanya (bab) karena bukunya terdiri dari kumpulan short stories, jadi memang dibikin cerita kayak semacam biopic. (Untuk mengembangkan kisah cinta) jadi sampai ditanya “kalau misalnya lo putus, apa sih masalah lo sama cowok?” dikulik-kulik begitu.


T: Sebelas tahun menulis, bagaimana evolusi Trinity? Perbedaan yang terasa saat membuat buku dari The Naked Traveler kesatu sampai ketujuh?

J: Apa ya? Lebih in-depth, lebih dalam, aku juga lebih rapi dalam soal bahasa, diksi, dan sebagainya. Karena sampai sekarang pun kalau membaca buku yang pertama, “Ih gue kok nulis kayak gitu sih?” (tertawa). Juga ada perbedaan norma. Zaman dulu kita mau membicarakan tentang LGBT masih cuek begitu kan, sekarang sudah enggak boleh lagi terlalu begitu. Dulu juga buku pertama kan sempat dibredel, kan.


Buku perdana “The Naked Traveler” cetakan pertama pada Juni 2007 sempat dihentikan peredarannya karena dinilai memuat hal porno, buku ini akhirnya diterbitkan ulang setelah tiga ceritanya dihapus.


Kejadian yang sama terulang di buku “The Naked Traveler 3” yang ditarik dari peredaran gara-gara cerita Trinity mengenai pengalaman mandi di onsen, pemandian air panas di Jepang. Judul cerita itu dirombak dan beberapa paragraf dihapus karena dianggap terlalu vulgar.


T: Evolusi Trinity sebagai traveler?

J: Apa ya? Lebih slow jalannya, kalau dulu karena masih mbak-mbak kantoran, kalau ada hari kejepit, kita liburan. Kalau sekarang lebih slow, di satu tempat bisa saja seminggu enggak ngapa-ngapain. Dan lebih.. apa ya..nongkrong sama orang lokal, cari tempat-tempat yang lebih enggak biasa lagi.


T: Metode menulis Trinity?

Aku enggak pernah menulis pada saat traveling karena kan enggak semua perjalanan bisa ditulis. Memang hanya yang menarik, yang unik yang aku rasakan yang akan aku tulis. Saat lagi jalan-jalan ya sebisa mungkin menikmati perjalanan itu karena sangat terganggu sekali (kalau harus mencatat). Motret pun aku baru gara-gara ada social media.


T: Bagaimana caranya agar tidak lupa hal-hal yang akan ditulis?

J: Bikin poin-poin, lalu supaya enggak lupa aku bikin foto sekuen. Misalnya masuk museum, enggak tahu apa namanya, aku fotoin plang yang ada namanya di depan museum. Nanti dilihat dari foto sekuen aja.


T: Jadi baru ditulis saat sudah pulang ke Indonesia?

Pas pulang ke Indonesia sih, tapi pas perjalanan satu tahun one year round the world mau enggak mau harus terus nulis ya.. Karena setahun kan enggak mungkin blog kosong. Nah itu benar-benar nyari waktu dan tempat untuk nulis.


Dua tahun lalu, Trinity menerbitkan dua edisi buku “The Naked Traveler: 1 Year Round-the-World Trip” berisi kisahnya menjelajahi 22 negara dalam setahun.


T: Butuh kondisi tertentu untuk bisa menulis?

J: Harus sunyi senyap tidak ada orang dan internet kencang (tertawa). Memang ada orang-orang yang biasanya menulis di kafe, aku enggak bisa. Musik pun kadang-kadang suka jadi distraksi.


T: Biasanya di mana?

J: Kalau di rumah tuh di pojokan tertentu di kamar.


T: Malam, pagi atau siang?

J: Malam sih biasanya, antara jam 10 sampai jam 2 pagi.


T: Karena sudah sering jalan-jalan begini, apakah betah berlama-lama di rumah?

J: Enggak sih. Malah sakit badan.



T: Maksimal berapa hari betah di rumah?

J: Biasanya sih dua minggu ya. Dua minggu, sudah, jalan. Kalau ada acara (di Jakarta), jadwal sudah dikosongin. Kalau sudah lama (di rumah) tuh (rasanya) sudah gatal pengen jalan lagi.


T: Tempat yang paling ingin dikunjungi?

J: Banyak ya, paling pengen Antartika ya, kutub selatan belum pernah.


T: Tempat yang selalu dikangenin, di luar dan dalam negeri?

J: Kalau di Indonesia sih enggak ada habis-habisnya dan berkali-kali balik pun enggak bosan. Ke Bali saja enggak bosan, setahun bisa dua kali ke sana. Kalau di luar negeri, Filipina sih ya, mungkin karena aku pernah tinggal di sana. Dan karena aku senang pantai underwater dan di sana kayak Indonesia tapi versi lebih kecil dengan pantai yang lebih bersih.


T: Ada enggak tempat yang bikin “ah sudah, gue enggak mau ke sana lagi!”?

J: Mungkin China kali ya? (tertawa) Tetap mau ke sana karena banyak tempat yang belum didatangi, tapi ya sudah ntar-ntar dulu, maksudnya bukan prioritas.


T: Short getaway versi Trinity?

J: Nah itu, aku orangnya jadi semakin impulsif ya. Enggak bisa ditentukan. Kalau ada ajakan “dua minggu lagi reuni yuk”, aku enggak tahu saat itu akan jalan ke mana dan saat itu ada di mana. Kalau short getaway.. ke mana ya? Getaway aku ya rumah sendiri sih karena kan kalau kebanyakan jalan-jalan kita enggak nulis, enggak ada duitnya (tertawa).


T: Di buku, Trinity banyak menulis pengalaman bergaul dengan orang lokal. Bagaimana cara Trinity memulai percakapan dengan orang asing?

J: Cara memulainya, biasanya kalau mau cari teman, cari sesama solo traveler karena biasanya mereka enggak ada teman ngomong (tertawa). “Eh, sendiri saja? Dari mana? Lo mau ke mana?” Pasti mulainya begitu. Biasanya langsung aja tembak, “Oh mau ke sana juga? Ayo kita bareng-bareng, biar patungan”


T: Kalau sama orang lokalnya?

J: Biasanya dimulai dari resepsionis sih. Aku suka tinggal di hostel yang ramai. Misalnya, aku kan selalu cari tempat makan di mana orang lokal pergi ke sana, aku nanya “Eh lo kalo makan siang pergi ke mana biasanya?” Kan kalau orang lokal enggak mungkin makan ke tempat turis yang sebelah candi misalnya.


T: Tahun depan akan ada inovasi apa lagi setelah Trinity-Round-the-World?

J: Inovasi buku terakhir yang ketujuh ada featuring “Yasmin Naik Haji” (Yasmin adalah teman Trinity yang menyumbangkan cerita saat beribadah di Makkah dan Madinah). Tahun depan belum tahu gimana, kita lihat saja nanti. Mau jalan-jalan lagi, tentunya akan menerbitkan buku lagi, mungkin ada film lagi…


T: Sudah menulis buku ke-8?

J: Sudah mulai mencicil. Begitu terbit (buku baru) pasti sudah mulai menulis yang berikutnya.


T: Bedanya apa dengan buku sebelumnya? Bocorannya dong?

J: Bedanya ya sampai sekarang belum dipikirin konsepnya. Tapi tempatnya berbeda, lebih aneh lagi (tertawa).

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016