"Jadi dengan money follow program, kita harapkan ketika daerah membelanjakan mereka sudah tahu apa yang mau dibelanjakan. Kami mungkin memperkirakan uang itu dulu sulit keluar karena mereka memang kurang fokus pada kegiatan prioritas," ujar Bambang di Jakarta, Jumat.
Money follow program sendiri merupakan pendekatan yang menekankan penganggaran pada program yang diusung pemerintah, tidak lagi pada fungsi fungsi kementerian/lembaga (money follow function).
Dana pemerintah daerah yang tersimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) mendominasi dana pemda yang mengendap di perbankan. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Oktober 2016, dana pemda yang tersimpan di BPD tercatat sebesar 60-70 persen sedangkan sisanya disimpan di bank BUMN. Adapun total dana pemda yang tersimpan di bank sampai Oktober 2016 sebesar Rp206,7 triliun.
Bambang menuturkan, melalui pendekatan money follow program, dari sisi perencanaan Bappenas dapat mendorong agar pemerintah daerah lebih efektif mengeluarkan uangnya.
"Memang itu data yang kita perhatikan dan baru kita sadari pada 2014, waktu saya di Kementerian Keuangan kita sudah berupaya untuk mempercepat (pencairan anggaran), dan kemudian keluar aturan juga yang memungkinkan konversi tunai ke Surat Berharga Negara (SBN) Tapi yang lebih penting sebenarnya bukan masalah penalti atau sanksinya, tapi pada kesadaran," ujar Bambang.
Bambang juga menyindir pemerintah daerah yang hanya mengharapkan bertambahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari bunga bank hasil menyimpan anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat.
"Tidak seharusnya PAD bergantung dari pendapatan dari bunga. Yang benar ya dari pajak dan dari retribusi daerah, bukan dari hal-hal seperti itu," kata Bambang.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016