Jakarta (ANTARA News) - Setelah melalui perundingan yang alot dan panjang, akhirnya pemerintah Indonesia dan Singapura sepakat untuk menandatangani perjanjian ekstradisi di Istana Tampak Siring, Bali, pada 27 April 2007. Penandatanganan tersebut akan dilakukan oleh menteri terkait dari masing-masing-masing negara disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, kata Menteri Luar Negeri Hassan Nur Wirajuda di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa. "Kemarin (23/4) di Singapura, delegasi di tingkat menteri yang diwakili Menlu, Menhan dan Panglima TNI, serta ketua tim perunding telah merampungkan proses negosiasi dan pembahasan perjanjian ekstradisi maupun kerja sama pertahanan antar kedua negara," katanya. Menlu mengatakan, setelah proses yang tidak mudah, akhirnya kedua Rancangan Perjanjian tersebut (Perjanjian Ekstradisi dan Kerja sama Pertahanan) berhasil disepakati dan siap ditandatangani pada Jumat (27/4) di Istana Tampak Siring, Bali. Tentang isi perjanjian ekstradisi, Menlu secara diplomatis mengatakan, dirinya belum bisa memberi keterangan karena harus melaporkan masalah itu kepada presiden terlebih dahulu. Pemerintah Indonesia sendiri mendesak adanya perjanjian ekstradisi antarkedua negara itu karena adanya dugaan sejumlah koruptor yang bersembunyi dan mencuci uang hasil korupsi di Singapura. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengharapkan, perjanjian ekstradisi yang akan ditandatangani Pemerintah RI dan Singapura bisa berlaku surut sehingga dapat menjerat para koruptor di era Soeharto. "Draf sampai sekarang saya belum baca, tetapi kira-kira lebih dari lima tahun (berlaku surutnya). Pokoknya, koruptor zaman Soeharto bisa kena," katanya menjawab wartawan usai rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Selasa. Menurut Jaksa Agung, pemerintah memang sejak awal mengharapkan ada jangka waktu mundur yang diperhitungkan agar dapat menjerat para koruptor masa lalu termasuk kasus BLBI. Dengan akan ditandatangannya perjanjian itu pemerintah berharap akan lebih mudah menjerat koruptor yang lari ke Singapura. "Kita berharap semua koruptor yang lari itu kembali," katanya, seraya menambahkan, dengan perjanjan itu Singapura punya kewajiban untuk mengembalikan tersangka koruptor yang lari ke sana. Di tempat yang sama Menkum HAM Hamid Awaluddin menyambut baik rencana penandatanganan perjanjian ekstradisi itu. "Harapan kita bagus sekali, karena itu sudah lama kita tunggu. Karena itu menyangkut penegakkan hukum dalam negeri kita," ujarnya. 42 Tindak Pidana Menlu Hassan Wirajuda mengatakan, perjanjian ektradisi itu menyangkut sebanyak 42 tindak pidana. "Ada sekitar 42 tindak pidana yang masuk. Tentu dengan ekstradisi berarti ada kerja sama kedua negara agar mereka yang terlibat dalam tindak pidana itu bisa dikirim atau dipulangkan kembali," katanya. Tentang data koruptor dari Indonesia di Singapura, Menlu mengatakan, kedua negara belum membicarakan tahap-tahap implementasi. "Kita baru tahap menyepakati perjanjian yang bagus untuk segala kebutuhan kita dan kepentingan bersama, kita belum bicara siapa dan bagaimana, tetapi kita berupaya maksimal agar perjanjjian itu memadai untuk kepentingan kita," katanya. Sementara itu, sejumlah kalangan memperingatkan agar pemerintah benar-benar bersikap hati-hati sebelum menyepakati seluruh pasal yang tertuang dalam perjanjian ekstradisi dan akan ditandatangani pada 27 April mendatang. "Kita sudah terlalu lama untuk menyepakatinya. Singapura terlalu sering mengulur-ulur waktu untuk menyepakati perjanjian ekstradisi. Jangan sampai kita `dikadalin` lagi," kata Ketua Badan Kerja sama Antar Parlemen Abdillah Thoha. Pemerintah, harus benar-benar mencermati setiap pasal demi pasal hingga ke depan Indonesia tidak begitu saja mudah dikelabui oleh Singapura dan berujung kerugian besar bagi Indonesia. Tidak itu saja, tambah Abdillah, pemerintah juga harus membeberkan secara terbuka apa saja isi yang diatur dalam perjanjian ekstradisi tersebut. Hal senada diungkapkan, anggota Komisi I DPR-RI Djoko Susilo yang mengatakan, Pemerintah diminta untuk lebih mencermati subtansi jangka panjang perjanjian ekstradisi dengan Singapura terutama terkait dengan kejahatan kerah putih (white collar crime). "Jangan pikirkan kepentingan jangka pendek soal pasir, lalu mereka teken. Masih ada pasal-pasal yang belum jelas. Dan jangan sampai ini sebagai akal-akalan Singapura saja yang masih melindungi penjahat kerah putih Indonesia," tuturnya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007