Harapan saya buku ini akan menjadi buku yang sangat kritis yang dapat memberikan masukan buat saya dan juga bagi peningkatan perjuangan kebhinekaan."

Yogyakarta (ANTARA News) - Buku berjudul "Memaknai Tumbuk Ageng GKR Hemas" yang menyajikan berbagai sudut pandang mengenai sosok dan kiprah istri Raja Keraton Ngayogyakarta diluncurkan di Yogyakarta, Rabu.

Peluncuran buku setebal 272 halaman itu dihadiri sejumlah tokoh daerah maupun nasional seperti mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Sri Sultan HB X, jajaran anggota DPD RI, SKPD DIY.

"Harapan saya buku ini akan menjadi buku yang sangat kritis yang dapat memberikan masukan buat saya dan juga bagi peningkatan perjuangan kebhinekaan," kata Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dalam sambutannya.

Editor buku "Memaknai Tumbuk Ageng GKR Hemas", Faraz mengatakan selain mengupas sosok dan sepak terjang GKR Hemas, penulisan buku itu juga sekaligus sebagai penanda genap 64 tahun istri Raja Keraton Ngayogyakarta Sri Sultan HB X itu.

"Dalam tanggalan Jawa usia 64 biasanya diperingati sebagai proses tumbuk ageng yakni salah satu upacara dari serangkaian siklus hidup manusia Jawa yang diadakan pada masa tua," kata dia.

Buku yang ditulis sejumlah tokoh, kolega GKR Hemas serta akademisi itu pada mulanya digagas oleh Komunitas Peduli Pluralisme Yogyakarta. Mereka melihat potensi GKR Hemas sebagai ikon sekaligus role model dalam mengkonstruksi budaya pluralisme, dan keberagaman di Yogyakarta bahkan Indonesia.

Menurut Faraz, peluncuran buku itu sedianya dilakukan pada 31 Oktober 2016 saat Permaisuri Keraton Ngayogyakarta itu genap 64 tahun. Namun mempertimbangkan kondisi politik yang tidak memungkinkan di DPD RI, maka diundur hingga 21 Januari, bersamaan dengan momentum Hari Ibu.

Dosen filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Rocky Gerung sebagai narasumber dalam peluncuran buku itu menilai buku "Memaknai Tumbuk Ageng GKR Hemas" menggambarkan sebuah kerinduan masyarakat Yogyakarta terhadap sosok yang tidak hanya menjadi panutan sekaligus "Ibu Kebudayaan".

"Karena sekarang yang banyak adalah bapak kebudayaan," kata dia.

Sementara mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan sikap egaliter yang melekat pada sosok GKR Hemas menjadi penepis anggapan umum bahwa Kerajaan selalu identik dengan sistem feodal. "Bahkan Yogyakarta justru mendapatkan penghargaan dari pemerintah sebagai daerah dengan indeks demokrasi paling tinggi di Indonesia," kata dia.

Dalam buku yang terdiri atas tiga bab yakni "Bugenvil dalam Bejana Pualam", "Sosok Pemimpin Penuh Perhatian", serta "Ratu Satu Juta Suara" itu, Sultan HB X dalam kata pengantarnya menghadirkan puisi berjudul "Ibu" karya Kahlil Gibran sebagai kado untuk GKR Hemas.

"Selamat ulang tahun bagi Jeng Ratu, dengan tiupan doa terbaik: Semoga kita berdua dipanjangkan umur oleh-Nya dalam mengasuh anak-cucu, dan menjadi pengasuh sekaligus pelayan bagi rakyat Yogyakarta yang istimewa," kata Sultan.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016