Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat harus terlibat dalam rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang tercantum dalam cetak biru (Blue Print) Kebijakan Energi 2005-2025, serta Peraturan Presiden (Perpres). "Selain bersikap tidak transparan, pemerintah sama sekali tidak mengikutsertakan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan PLTN yang notabene dapat membahayakan jutaan rakyat Indonesia," kata Direktur Masyarakat Antinuklir Indonesia (Manusia), Dian Abraham, dalam peringatan tragedi Chernobyl di Institute Global Justice (IGJ) Jakarta, Selasa. Hal tersebut, kata dia, seperti terjadi ketika masa orde baru dimana proyek PLTN dianggap tidak membutuhkan persetujuan rakyat sema sekali. "Bagi pemerintah dan bahkan wakil rakyat di DPR RI, rakyat hanyalah obyek yang hanya perlu diberitahu mengenai adanya rencana tersebut," katanya. Padahal, ujarnya, pada akhir 1980-an hingga awal 1997 terdapat polemik panjang di media massa mengenai rencana pembangunan PLTN Muria yang banyak ditentang oleh masyarakat. "Demikian pula, UU Ketenaganukliran yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 10 April 1997 dan sekarang menjadi landasan bagi megaproyek PLTN tersebut banyak menuai kritik, baik substansi maupun proses pembahasannya di DPR RI," katanya. Polling pendapat tahun 2005, ucap dia, yang diadakan oleh Badan Energi Atom Internasional atau "International Atomic Energy Agency" (IAEA) dimana Indonesia menjadi anggotanya menunjukkan bahwa 59 persen masyarakat Indonesia menentang rencana pembangunan PLTN dan hanya 33 persen yang mendukung adanya rencana tersebut. "Di tingkat lokal misalnya, berbagai demonstrasi dilakukan oleh masyarakat Madura untuk menyuarakan protes mereka," ujarnya. Pemerintah, kata Dian, sampai saat ini tampak tidak peduli terhadap rakyatnya berkenaan dengan isu nuklir, hal itu terlihat dari tidak dijalankannya ketentuan dalam UU Ketenaganukliran mengenai partisipasi masyarakat. "Ironisnya, pemerintah justru bekerjasama dengan industri nuklir global untuk menyelenggarakan berbagai diskusi atau seminar tentang PLTN untuk memberikan penjelasan kepada masyarakatnya," ujarnya. Dian mengatakan, banyaknya industrialis yang menyatakan minatnya pada rencana PLTN Indonesia tersebut, seperti Amerika Serikat (AS), Prancis, Rusia, Cina, Jerman, Italia, Jepang dan Korea Selatan (Korsel) menunjukkan indikasi kuat bahwa rencana PLTN bukan ditentukan oleh dan untuk kepentingan rakyat, melainkan oleh dan untuk kepentingan pemodal asing. "Berdasarkan hal tersebut, kami menuntut pemerintah untuk menghentikan rencana pembangunan PLTN di Indonesia dan mengalihkan seluruh dana tersebut untuk penggunaan maupun riset energi alternatif," ujarnya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007