Jakarta (ANTARA News) - Aset milik Badan Usaha Negara (BUMN) merupakan bagian dari obyek kekayaan negara, karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seyogianya tidak perlu ragu memasukkan sebagai bagian dari operasi kerjanya.
"Saya tetap konsisten terhadap pendirian saya, bahwa kejahatan di dalam sebuah korporasi, khususnya di lingkup BUMN, bagian yang harus ditangani oleh KPK," kata mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, dalam diskusi akhir tahun di Sekolah Tinggi Hukum, IBLAM di Jakarta, Senin.
Suatu perusahaan jika mendapat subsidi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, ia juga termasuk bagian dari pengelolaan aset negara, apalagi perusahaan itu langsung mendapatkan modal dari negara. KPK tak perlu ragu melakukan pengusutan jika ditemukan kejahatan di dalam suatu perusahaan, katanya.
Seminar akhir tahun dengan tema, "Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Korporasi," menampilkan Antasari Azhar, pakar hukum perusahaan Dr Chandra Yusuf dan Muhammad Ridwan Affan.
Menurut Antasari, saat ini banyak pengamat yang ingin mengaburkan kekayaan BUMN bukan sebagai kekayaan negara sehingga KPK seolah tidak ada kewenangan untuk melakukan pemeriksaan.
"Terhadap pendapat itu saya kurang setuju, karena hal itu sudah didiskusikan sejak saya menjadi Jaksa Agung dengan berbagai pakar hukum seperti Adnan Buyung Nasution. Saya tetap konsisten hingga kini, bahwa kejahatan dalam suatu korporasi khususnya lingkup BUMN adalah bagian dari korupsi terhadap kekayaan negara," katanya.
Antasari pada kesempatan itu juga bercerita banyak terkait dengan perkara yang dialaminya, yakni ia dipidana 18 tahun meskipun sampai sekarang pengadilan tidak mampu menunjukkan alat bukti cukup terhadap kesalahan yang didakwakannya.
"Menurut para kolega saya, ketika menjenguk di penjara, mengatakan, dipenjarakanya saya itu bukan karena salah. Tetapi ada orang yang merasa tersinggung terhadap kebijakan saya saat menjadi ketua KPK," katanya.
Selain itu, "Saya juga dinilai terlalu berani bahkan dalam suatu rapat terbatas dengan Presiden, kala itu saya menyampaikan akan mengejar para pimpinan perusahaan dan BUMN yang merugikan kekayan negara atau korupsi".
Rupanya hal itu banyak tidak setuju, katanya, seraya menambahkan, itulah yang antara lain menyebabkan saya dijebloskan ke dalam penjara meskipun tidak bersalah.
Bukan sebagai obyek KPK
Sementara itu pakar hukum korporasi, Dr Chandra Yusuf mengatakan, terhadap aset BUMN seyogianya tidak termasuk obyek penyidikan KPK, karena sejak lahirnya sebuah korporasi tersebut terjadi pemisahan kekayaan.
UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 adalah hukum positif yang kedudukannya sama dengan UU KPK. Oleh karenanya, kata Chandra, terhadap aset BUMN yang sahamnya kurang dari 50 persen dimiliki pemerintah, perusahaan itu tidak tepat jika dijadikan sasaran KPK.
Pasal 3 ayat (1) UU PT menyebutkan, pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
Artinya, kata Chandra, selagi pimpinan melaksanakan roda perusahaan sesuai aturan seyogianya ia tidak dapat dipidana jika terdapat kesalahan.
Dr Edy Susanto, ketua Yayasan Iblam menambahkan, sebaiknya pemerintah dan DPR mengagendakan penyempurnaan UU KPK, agar masalah itu tidak terus menjadi polemik yang berkepanjangan.
"Reformasi hukum di era Pemerintahan Joko Widodo mestinya terus dilaksanakan, salah satunya mempercepat pembahasan KUHP dan KUHAP yang sudah lama dirundingkan, tetapi hingga kini belum ada kemajuan. Dua UU itu jika dapat dituntaskan pada periode ini, akan menjadi warisan dari pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam mereformasi hukum," katanya.
Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016