Hanya orang-orang pilihan, bernyali luar biasa, berbulan-bulan berlatih, dan bergabung ke grup ekspedisi yang bisa tiba di Carstensz Pyramid (4.848 mdpl). Namun, di Singapura, padang salju dapat didatangi pelancong bersama keluarga dengan taksi, bus, atau kereta bersistem "mass rapid transportation" ke arah Jurong East setiap hari.
Puncak Jaya disediakan alam semesta secara spesial untuk kaum peneliti, dan pecinta alam berkelas tinggi, sedangkan SCS sejak berdiri pada awal abad ke-21 oleh pengelolanya dimaksudkan sebagai wahana hiburan komersial bermuatan pendidikan untuk pelajar, turis domestik, dan wisatawan asing.
Belum pernah ada kabar orang bermain ski atau bermanuver dengan papan salju (snowboard) di Puncak Jaya, tetapi di SCS tersedia wahana untuk wisatawan, juga yang dari Nusantara mempelajari peralatan, teknik dan praktik olahraga tersebut.
"Awalnya takut jungkir balik. Setelah mencoba, ternyata asyik juga," kata Muhammad Zuhri, pemuda dari Batam, Kepulauan Riau, setelah menjajal nyali di SCS, 2 Desember 2016.
Hanya dengan pelatihan singkat, dalam tempo sekitar 20 menit, Zuhri bisa meluncur beberapa meter ke bawah di ruangan bersuhu minus 12 derajat Celcius. Ia dengan bimbingan Emeline Tan dan tim pelatih, berhasil beberapa kali meluncur, tanpa cedera.
"Rasanya seperti sedang snowboarding di negeri Eropa, i salju yang sesungguhnya. Di sini, saya diajari beberapa trik," ujar Zuhri.
Di tempat itu, pemula diajari dasar-dasar mengendalikan papan salju, mulai dari memakai sepatu boot yang pas, menentukan salah satu kaki sebagai pengendali utama keseimbangan, mengikatkan kaki ke dudukan papan seluncur salju, berdiri di medan licin, mengatur beban badan ke tumit, mengeser-geserkan bilah papan salju, dan mencoba mengerem, sebelum melesat.
Emeline pernah berlatih di Kanada, Jepang dan Korea. Ia bersama dua rekannya, kini menjadi pelatih di SCS yang menyediakan sarana belajar ski dan snowboarding.
"Baru sebulan snow academy ini kami buka. Sudah ada 4.500 orang Singapura mendaftar untuk belajar," kata General Manager SCS Norazani bin Shaiddin.
Tiga tiga tahun yang lalu pelatihan ini dihentikan SSC sebab teknologi pembuatan salju yang cocok untuk olahraga itu belum memadai. Sekarang, dengan teknologi yang lebih baik, "akademi" itu dibuka kembali. Peserta ditarif 45 dolar Singapura (sekitar Rp450 ribu) per orang/jam, sudah termasuk biaya sewa perlengkapan. Tersedia pelatihan level I hingga III.
Mengenal peralatan, memasangkannya dengan benar, dan pernah mengikuti pelatihan ini di Negeri Singa, menurut Norazani akan berguna ketika orang dari negara-negara tropis berkunjung ke resor negara-negara subtropis yang juga biasanya juga menyediakan sarana pelatihan serupa.
"Jangan sampai canggung, tidak tahu memasang peralatan ski atau snowboarding di negara winter," kata Norazani, dengan tersenyum.
Hingga awal Desember, wisatawan asing, juga dari Indonesia, belum ada yang mendaftarkan diri ke pusat pelatihan tersebut. Pelancong mancanegara datang sekadar mencoba diguyur hujan salju, merasakan badai dalam suasana benua es Kutub Utara, mengamati igloo, patung manusia salju, dan atau riang berseluncur tandem dengan bantalan ban di padang salju di antara beberapa pohon cemara.
"Kami mengharapkan orang Indonesia juga belajar di snow academy," kata Norazani.
Selain berharap semakin banyak orang dari Nusantara berkunjung, manajemen SCS bersama mitranya kini mempersiapkan modul rumah salju yang dapat dibawa keliling ke negara-negara bagian Malaysia atau provinsi-provinsi Indonesia.
Untuk mempersiapkan modul yang kelak mendekatkan wahana rekreasi edukatif salju dari Singapura ke masyarajat berbagai kota di luar negeri, mitra SCS membenamkan modal 1 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp1 triliun.
"Tahun depan program keliling ini dilaksanakan. Kalau ada partner lokal di Indonesia, kami welcome," kata Norazani. ***1***
(T.A013/B/T007/T007) 11-12-2016 16:19:30
Oleh Agustinus Jo Seng Bie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016