Jakarta (Antara) -- Undang-undang Jasa Konstruksi akhirnya disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI yang digelar pada Kamis (15/12). Pengesahan undang-undang ini salah satunya bertujuan untuk meningkatkan daya saing jasa konstruksi dalam negeri di era persaingan global. Ketua Komisi V Fary Djemy Francis mengatakan bahwa RUU Jasa Konstruksi yang menjadi inisiatif DPR RI telah dibahas bersama pemerintah sejak 27 Februari 2016 dan pemerintah telah menyampaikan 905 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Kemudian dilanjutkan dengan Rapat Panitia Kerja (Panja) dan Tim Perumus secara intensif serta menghasilkan rumusan yang disepakati bersama pemerintah.
UU Jasa Konstruksi yang telah disahkan merupakan pengganti UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang terdiri dari 12 Bab dan 46 pasal. Sedangkan UU Jasa Konstruksi yang baru terdiri dari 14 bab dan 106 pasal. Rapat Paripurna DPR RI dihadiri Menkumham Yasonna Laoly yang mewakili Presiden RI, serta Sekjen Kementerian PUPR Anita Firmanti dan Direktur Jenderal Bina Konstruksi Yusid Toyib yang mewakili Menteri PUPR Basuki Hadimuljono yang tengah berada di Aceh mendampingi Presiden RI Joko Widodo.
Pendapat akhir pemerintah yang dibacakan Menkumham Yasonna Laoly menyatakan UU Jasa Konstruksi yang baru tidak lagi berorientasi hanya kepada urusan bidang PUPR, tetapi mencakup penyelenggarakan pekerjaan konstruksi di Indonesia secara utuh. Beberapa substansi penting UU Jasa Konstruksi yang baru yang disepakati pemerintah dan DPR RI, antara lain:
Pertama, adanya pembagian peran berupa tanggung jawab dan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. Kedua, menjamin terciptanya penyelenggaraan tertib usaha jasa konstruksi yang adil, sehat, dan terbuka melalui pola persaingan yang sehat. Ketiga, meningkatnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi melalui kemitraan dam sistem informasi, sebagai bagian dari pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi. Keempat, lingkup pengaturan yang diperluas tidak hanya mengatur usaha jasa konstruksi melainkan mengatur rantai pasok sebagai pendukung jasa konstruksi dan usaha penyediaan bangunan.
Kelima, adanya perlindungan hukum terhadap upaya yang menghambat penyelenggaraan jasa konstruksi agar tidak menganggu proses pembangunan. Keenam, perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia dalam bidang jasa konstruksi, termasuk pengaturan badan usaha asing yang bekerja di Indonesia, termasuk penetapan standar renumerasi minimal untuk tenaga kerja konstruksi. Ketujuh, adanya jaring pengaman terhadap investasi yang akan masuk di bidang jasa konstruksi. Kedelapan, mewujudkan jaminan mutu penyelenggaraan jasa konstruksi yang sejalan dengan nilai-nilai keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan (K4).
Sebelumnya, pada saat rapat terakhir Tim perumus RUU Jasa Konstruksi bersama Panitia Kerja Komisi V DPR RI, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyatakan keyakinannya bahwa Undang-Undang Jasa Konstruksi ini akan mampu memberikan makna dan nilai tambah bagi penyelenggaraan jasa konstruksi yang kukuh, berdaya saing, dan berkualitas, sehingga triminologi atas jasa konstruksi yang baru menjadi upaya yang harus dirintis dan didukung semua pihak.
Sementara itu Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Yusid Toyib mengatakan UU Jasa Konstruksi ini sangat diperlukan mengingat industri konstruksi Indonesia masih perlu peningkatan di beberapa aspek seperti rantai pasok, delivery system dalam sistem pengadaan barang dan jasa serta mutu konstruksi dan tuntutan penyelenggaraan good corporate government. “RUU Jasa Konstruksi ini diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan tata kelola dan dinamika pengembangan jasa konstruksi Indonesia sejalan dengan perkembangan dunia konstruksi saat ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yusid Toyib menjelaskan, jaring pengaman pun disiapkan bagi investasi yang masuk di bidang jasa konstruksi, serta adanya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan konstruksi. UU Jasa Konstruksi yang baru ditetapkan juga memberikan penegasan bersama mengenai mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi sebagai ranah keperdataan. Lalu terdapat penegasan atas kewenangan penuh pemerintah untuk melakukan pengawasan tertib penyelenggaraan, serta perlindungan hukum terhadap upaya yang menghambat pembangunan, termasuk penetapan standar remunerasi minimal untuk tenaga kerja konstruksi. Substansi lain yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi adalah sertifikat kompetensi kerja, akreditasi asosiasi dan pemberian lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi, serta kegagalan bangunan dan penilaian ahli.
Dirjen Bina Konstruksi Yusid Toyib mengapresiasi semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan RUU Jasa Konstruksi yang menjadi inisiatif DPR RI. Secara khusus Yusid Toyib mengapresiasi Komisi V DPR RI yang terus berkomitmen dan konsisten terhadap perumusan kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur yang memberikan ruang bagi inovasi dan peningkatan produktivitas penyelenggaraan jasa konstruksi, serta penguatan tugas dan fungsi pembinaan yang saat ini telah dilakukan.
Untuk diketahui, RUU Jasa Konstruksi yang diinisiasi Komisi V DPR RI ini merupakan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Kemudian berdasarkan Surat Presiden Republik Indonesia nomor R-73/Pres/12/2015 11 Desember 2015, Menteri PUPR menjadi perwakilan pemerintah untuk menyampaikan pandangan presiden terhadap RUU Jasa Konstruksi. Selama proses pembahasan RUU Jasa Konstruksi, Tim Perumus dan Komisi V DPR RI telah menerima berbagai masukan dan tanggapan dari kalangan pelaku jasa konstruksi baik dari kalangan badan usaha maupun perguruan tinggi, akademisi, asosiasi dan lain-lain.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2016