Sekretaris Jenderal MPR RI Ma'ruf Cahyono mengatakan tetap menampung aspirasi tersebut.
"MPR punya tugas menyerap aspirasi. Kami juga menampung pikiran-pikiran yang berkembang, termasuk kembali ke UUD 1945. Kalau sifatnya aspirasi masyarakat, kan kami kelola dan kami berlakukan sebagai asmas," kata Ma'ruf, usai acara Media Expert MPR RI, di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Kamis.
Namun, ia menegaskan bahwa aspirasi masyarakat (asmas) bukan sebagai pengambil kebijakan.
"Apa bedanya kembali ke UUD 1945 dengan mengubah UUD 1945? Kan itu pikiran masyarakat saja. Untuk melakukan itu, kita perlu suatu proses mekanisme yang panjang dan konstitusional," ujarnya.
Ia menjelaskan dalam pasal 37 UUD 1945, ada lima ayat yang sudah mengatur mekanisme hukum dan yuridis konstitusional.
"Harus diusulkan anggota MPR minimal sepertiga, disetujui oleh 50 persen plus satu. Dan kalau khusus NKRI, tidak boleh ada perubahan. Semua ada aturannya. Jadi yang penting yuridis konstitusional. Kalau soal pikiran berkembang, itu kan pendapat-pendapat saja. Tapi jalannya panjang," jelasnya.
Dengan demikian, pemberlakuan kembali UUD 1945 ke naskah asli bukan hal mudah.
"Bahkan harus melalui pengkajian. Kenapa ada lembaga pengkajian di MPR, kan seluruh asmas dikaji dulu. Konseptualisasi dari pikiran masyarakat yang sederhana bisa diformulasi sehingga bisa menjadi bahan materi yang bisa dimintakan persetujuan oleh para anggota MPR, apakah setuju dengan konsep ini atau tidak," katanya.
Pewarta: Monalisa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016