Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Eko Susilo Hadi, Deputi Bidang Informasi dan Hukum Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait pengadaan alat monitoring satelit pada APBN-Perubahan 2016.
Posisi Eko di Bakamla juga merangkap sebagai Kuasa Pengguna Anggaran, dan mantan pelaksana tugas (plt) sekretaris utama Bakamla.
Eko diduga menerima Rp2 miliar dari PT Melati Technofo Indonesia selaku pemenang tender pengadaan alat monitoring satelit 2016.
"Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam pasca penangkapan dan gelar perkara, KPK meningkatkan status ke penyidikan dengan menetapkan ESH (Eko Susilo Hadi) disangkakan pasal 12 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain Eko, KPK juga menetapkan tiga orang sebagai pemberi suap, yakni Hardy Stefanus, Fahmi Darmawansyah selaku Direktur PT MTI dan Muhammad Adami Okta.
Ketiganya disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat satu tahun dan lama lima tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Fahmi hingga saat ini masih dicari keberadaannya.
Kasus ini berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang dilakukan pada 14 Desember 2016 terhadap Eko, Hardy, Muhammad Adami dan DSR selaku pegawai PT MTI.
Eko diduga menerima Rp2 miliar dalam bentuk dolar AS dan dolar Singapura dari Hardy dan Adami di kantor Bakamla Jalan Sutomo Jakarta Pusat. Uang itu adalah bagian 7,5 persen dari total nilai proyek yang berjumlah Rp402 miliar.
"Secara keseluruhan nilai proyek Rp400 miliar untuk monitoring satelit tapi ada pemotongan sehingga jumlahnya tinggal Rp200-an miliar," tambah Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016