Jakarta (ANTARA News) - Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, kesehatan rakyat menjadi tanggung jawab negara, apalagi salah satu butir Pancasila menyebutkan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka, pemerintah harus hadir dengan sistem layanan kesehatan yang bisa mencakup semua daerah di Tanah Air.
Sistem layanan kesehatan tersebut harus dibangun untuk mengatasi berbagai problem kesehatan yang dari waktu ke waktu mengalami kemajuan dalam hal kualitas penyakit dan kualitas cara pengobatannya.
Sebagai bagian dari masyarakat maju, maka kesehatan tiap penduduk Indonesia yang jumlahnya sudah di atas 200 juta menghadapi problem yang tidak mudah.
Dengan anggaran di atas Rp 100 triliun, maka problem preventif kuratif dalam program kesehatan tetap harus menjadi pilihan utama.
Kegiatan vaksinasi, misalnya, adalah kegiatan preventif yang apabila dilaksanakan, dalam jangka panjang berbagai penyakit seperti polio dan hepatitis akan dapat dihindari, sehingga pada akhirnya akan mengurangi beban uang rakyat.
Bisa juga pengalokasian anggaran dikembangkan ke sistem layanan kesehatan lainnya sehingga rakyat bisa mendapatkan layanan yang lebih berkualitas.
Di sisi lain, letak geografis Indonesia dan individu Indonesia serta pola penyakitnya yang spesifik memerlukan pola layanan kesehatan yang relatif kompleks.
Dalam kaitan ini, pilihan jenis dan merk berbagai produk farmasi yang beredar saat ini memberikan keleluasaan dalam seni layanan kesehatan. Dalam hal tempat layanan kesehatan juga tersedia berbagai fasilitas kesehatan. Demikian pula petugas kesehatannya.
Dengan gugusan pulau dan penyebaran penduduk Indonesia seperti saat ini tentu bukan merupakan sesuatu yang mudah dalam hal pemerataan layanan kesehatan, karena dituntut adanya ketersediaan tenaga yang berinteraksi langsung dengan pasien serta layanan obat yang bisa diakses langsung oleh masyarakat.
Aneka penyakit dan layanan serta produk obat yang tersedia dalam prakteknya saling terkait satu sama lain guna mencapai sasaran pengobatan yang maksimal.
Oleh karena itu penyebaran tenaga kesehatan dan tempat layanan kesehatan serta ketersediaan produk obat di daerah layanan menjadi sangat diperlukan.
Dengan demikian, nampak bahwa keterintegrasian mulai hulu sampai hilir dalam sukses layanan kesehatan masyarakat menjadi sangat penting untuk dibangun dan dikembangkan.
Sebagai sebuah upaya implementasi dari tujuan mulia untuk kepentingan kemanusiaan, membangun pola hubungan sinergis dan strategis tidak saja menjadi kunci sukses terpenuhinya semua lini layanan kesehatan, tetapi juga menjadi harapan masyarakat dalam mendapatkan layanan paripurna, khususnya dalam mendapatkan obat yang berkualitas dan sesuai keperluan.
Oleh karena itu tata kelola produk dan permintaan pasar memerlukan disain "supply chain" (rantai pasokan) yang baik, selain kajian dan perencanaan yang matang.
Kemudian, tidak dapat disangkal bahwa "supply chain" produk farmasi dalam prakteknya tidak mudah.
Dengan jumlah produk yang beredar sebanyak lebih dari 5000 item, sudah barang tentu keragaman penggunaannya serta ketersediaannya memerlukan dukungan dari beberapa aspek.
Adapun aspek yang menonjol dalam "key success factor" (factor kunci sukses) dari "supply chain" farmasi adalah sistem informasi dari dan ke petugas pelayanan kesehatan. Kemudian ketepatan waktu pengiriman dan peramalan kebutuhan dengan waktu yang sesuai.
Ketercapaian sukses-tidaknya "supply chain" mengharuskan adanya upaya meminimalisir faktor tersebut, terlebih saat ini persaingan produk membutuhkan tingkat ketepatan yang lebih akurat, sebab produk yang masuk ke pasar secara massif akan mudah tersubstitusi oleh kompetitor.
Menghadapi situasi seperti itu, dimana "gap" (jurang/perbedaan) produk, sekaligus "gap" layanan akan terus berpotensi menjadi masalah ke depan. Maka, upaya meminimalisir efek negatifnya memerlukan adanya koordinasi, revitalisasi institusi kesehatan, dan fokus kepada strategi penanganan produk .
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kelemahan birokrasi terletak pada rentang kendali dan panjangnya keputusan sampai kepada lingkup terbawah.
Pada kasus "supply chain", titik kritis adalah pada peramalan kebutuhan produk dan kecepatan pengiriman karena terkait dengan perencanaan produksi dan distribusi produk sampai ke pelanggan dan pemakai.
Apa yang dikeluhkan saat ini seperti "dwelling time" (waktu tunggu) di pelabuhan akan berpengaruh terhadap efektif tidaknya "supply chain", karena dengan menggunakan lautlah biaya bisa dibuat efisien mengingat volume produk strategis pun sangat banyak jumlahnya.
Isu ini sekaligus memberi isyarat bahwa persoalan produk strategis dan "supply chain" sangatlah penting. Produk kesehatan tentu bisa kalah cepat pergerakannya dibandingkan penyakit yang berkembang di masyarakat.
Penyakit bisa menular, disamping karena factor lingkungan, juga karena vector yang dibawa oleh berbagai binatang yang sangat cepat berhilir mudik.
Manusia pun dalam era saat ini makin cepat bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain yang memungkinkan tertularnya oleh suatu penyakit atau justru turut menyebarkan suatu penyakit.
Kasus virus Zika adalah salah satu gejala global yang bisa membawa akibat buruk dari negara satu ke negara lain. Kecepatan migrasi penyakit dan manusia ini tentu berakibat pada grafik yang tidak linear dalam pengelolaan penyakit.
Oleh karena itu "Health care management" (manajemen penanganan kesehatan) yang berpijak pada "supply chain" produk farmasi berperan besar untuk tercapainya proses hidup sehat menyongsong Indonesia 2045.
*Penulis, Praktisi Entrepreneur Farmasi
(T.A015/N004)
Oleh Muntaha*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016