Jakarta (ANTARA News) - "Unggal kaluar ti lembur padumukan, ngan aya dua anu hayang ditenjo ku kami, kapal anu bisa ngapung jeung pakawih dangdut.(Setiap saya keluar dari kampung, cuma ada dua yang ingin saya lihat, pesawat udara dan penyanyi dangdut)," kata Nasa (34) seorang pemuda Baduy. Nasa adalah warga Baduy Dalam yang kini telah pindah menjadi warga Baduy Luar. Minggu (22/4) malam kemarin, ia menjadi bagian dari puluhan warga Baduy, yang melakukan "Seba" ke Gubernur Banten di Kota Serang. Seba merupakan salah satu tradisi warga Baduy, yakni menghadap Gubernur Banten dan Bupati Lebak, setelah masa panen. Mereka datang berbondong-bondong untuk bertatap muka dan menyerahkan sebagian aneka hasil panen seperti padi, palawija, madu, dan lain-lain. Belum lagi upacara pertemuan antara warga Baduy yang dipimpin "Puun" (Ketua Adat) Jaro Saidi dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dimulai, dari Alun-alun Kota Serang terdengar pengumuman hiburan dangdut akan segera dimulai, diikuti gemuruh suara gendang yang terus ditabuh bertalu-talu. Karuan saja saat itu juga puluhan warga Baduy dari sekitar 470 orang yang sudah berada di Kantor Gubernur berhamburan ke luar menuju tempat digelarnya pentas dangdut oleh salah satu produk minuman berenerji yang menampilkan tiga penyanyi seksi Iva, Dian, dan Lia dari grup Trio Macan yang tengah naik daun. Semula beberapa "kokolot" (tokoh) warga Baduy berusaha untuk mengingatkan sesamanya agar bisa tertib dan tetap duduk tenang karena Ibu Gede (sebutan untuk Gubernur Banten) akan segera datang dan Upacara Seba akan segera dimulai. Tapi karena terus menerus digoda hentakan musik dan tiupan seruling, tetap saja sebagian warga Baduy terutama yang masih muda dan ABG beranjak ke panggung, demi liukan goyang erotis para penyanyi dangdut. "Keun bae meungpeung ka Dayeuh, da diditu mah teu kenging pak, pamali. (Biar saja mumpung sedang ke kota, sebab di sana tidak boleh ada dangdut, tabu)," kata Artidi (31) yang ikut "ngacir" ke panggung dangdut, meninggalkan Pendopo Gubernur Banten bersama puluhan pemuda lain. Goyang Dombret Begitu tiba di depan panggung, sekitar 70 pemuda Baduy yang semuanya berpakaian hitam-hitam serta bertelanjang kaki itu langsung disambut alunan lagu "Goyang Dombret". Tiga penyanyi dengan baju ketat muncul membawakan lagu tersebut tak ketinggalan goyangan "panas", memanaskan di Alun-alun Kota Serang. Sambil sesekali diselingi letupan tawa riang, mereka tampak puas bisa melihat sajian, yang bagi mereka merupakan hal yang sangat mewah. Satu-dua lagu berlalu, artis-artis cantik di panggung mulai "centil" mengajak anak-anak muda termasuk pada pemuda Baduy untuk ikut berjoget di panggung. Mula-mula anak-anak muda itu menolak, sebagian bahkan lari terbirit-birit menghindari ajakan bergoyang sang penyanyi. Tetapi apa daya, ajakan terlalu kuat sehingga beberapa anak muda tak kuasa menolak dan terpaksa ikut berjoget dan bergoyang meski tak ada yang bersedia di ajak naik ke panggung. Saat ditanya mengapa tidak ikut berjoget di panggung Sanif (26) pemuda warga Baduy Luar menuturkan, karena takut terkena sanksi adat. "Malah keur urang Baduy Jero mah mun aya anu nonton bae bisa keuna mamala ti Puun jeung Kokolot, komo deui ngiluan ngigel. (Malahan bagi warga Baduy Dalam, sekedar nonton saja bisa kena sanksi dari Tokoh Adat, apalagi ikut bergoyang)," kata Sanif. Lain Sanif, lain pula dengan Nasa. Nasa mengaku sudah lama mendengar cerita asyiknya nonton pentas dangdut, tapi baru kali itu dia sempat mengalaminya. Maka begitu suara musik mulai ditabuh dan diceritakan oleh Sanif bahwa itu yang disebut musik dangdut, Nasa langsung berlari ke dekat panggung. "Pan ti bareto geus hayang nenjo pakawih dangdut teh, ayeuna bisa laksana (Soalnya sudah lama ingin melihat penyanyi dangdut, sekarang terlaksana)," kata Nasa. Selain nonton dangdut, Nasa juga membeli minuman energi setelah terkena rayuan Sales Promotion Girl (SPG) yang terus menempel dan menggodanya untuk membeli. Culture Shock Budayawan Banten yang juga pengamat budaya Baduy, Muhammad Iwan Nitnet menyebut kejadian itu sebagai culture shock.Culture shock menurut Center for International Education Universitas Kalifornia, AS adalah sebuah pengalaman sangat nyata yang dapat mempengaruhi seseorang atau orang lain pada tingkatan tertentu. Orang akan menggunakan banyak pengalaman emosinya untuk beradaptasi dengan budaya di luar lingkungannya. Menurut Iwan, hal itu sekaligus menunjukkan superioritas atau arogansi budaya modernisasi atas budaya warga yang masih tradisional. "Saya kira tidak bijaksana, mengonfrontasikan budaya warga yang masih tradisional seperti warga Baduy itu dengan seni pentas dangdut yang merupakan bagian dari budaya kelompok hedonis," katanya. Ia menilai, peristiwa itu menunjukkan bahwa pola hidup yang diyakini masyarakat adat seperti warga Baduy tidak mampu dilindungi sebagaimana mestinya. "Bangsa kita seharusnya bisa belajar dari Bangsa Amerika yang begitu menghargai dan melindungi tradisi masyarakat Indian." Lebih-lebih di era otonomi sekarang ini, kata dia, Pemerintah Daerah Provinsi Banten diberi kewenangan sangat luas untuk mengelola dan mengembangkan budaya dan potensi daerahnya sendiri termasuk potensi budaya warga Baduy. "Kita lihat masyarakat Indian di Amerika bisa tetap bangga menjadi Indian karena pemerintah memberi jaminan perlindungan pola hidup mereka. Memang benar perubahan akan selalu terjadi di masyarakat manapun, tetapi perubahan itu hendaklah berasal dari diri sendiri, bukan perubahan yang dipaksakan atas dasar arogansi satu budaya atas budaya lainnya," ujar Iwan. Meski Iwan mengakui komunitas Baduy itu sendiri cepat atau lambat akan mengalami perubahan, namun sebaiknya pemerintah tetap tidak memaksakan perubahan itu. "Maka hal terpenting yang perlu terus dilakukan Pemerintah Provinsi Banten dengan warga Baduy adalah dialog yang konstruktif, selama ini kesannya warga Baduy hanya diwajibkan menerima dan tidak diajak dialog sebagaimana warga lainnya sebagai manusia bermartabat," kata Iwan. Perubahan yang terjadi di kalangan warga Baduy memang bisa secara kontras terlihat dari pandangan dan penampilan Nasa dengan Jaro Saidi (67), salah seorang Ketua Adat warga Baduy Dalam. Di balik baju hitamnya, Nasa memakai t-shirt bertuliskan "Cristian Dior", rambutnya dipotong pendek dan rapih. Sementara Jaro Saidi memakai baju adat Baduy Dalam, baju tenun kasar berwarna putih dan sudah kumal, juga mengenakan sarung lurik sebatas lutut tanpa alas kaki, sedang rambutnya yang panjang disembunyikan dalam ikatan tutup kepala putih. Perut Nasa tampak mulai gendut meski masih berusia relatif muda, sementara Jaro Saidi seperti kebanyakan orang Baduy Dalam, tetap langsing dan kecil. Nasa biasa naik mobil ke mana-mana, sementara Jaro Saidi tetap berjalan kaki ke manapun ia pergi. Tahun 2003 lalu Nasa memutuskan untuk keluar dari komunitas Baduy Dalam yang sangat ketat dengan aturan adat. Ia keluar dari Kampung Cibeo di wilayah Baduy Dalam ke Ciboleger, wilayah Baduy Luar yang yang sekaligus merupakan gerbang kedatangan wisatawan ke Baduy. "Kami ayeuna geus bisa nenjo ka pakawih dangdut, engke isuk pageto deuk indit ka Jakarta hayang nenjo kapal anu bisa ngapung. (Saya sekarang sudah bisa melihat penyanyi dangdut, besok lusa akan pergi ke Jakarta untuk melihat pesawat terbang)," kata Nasa sambil beranjak meninggalkan panggung pentas dangdut.(*)
Oleh Oleh Asep Fathulrahman
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007