Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta keterangan Deputi Direktur Bidang Perkapalan Pertamina, Adi Wibowo, dalam kasus dugaan korupsi penjualan dua unit tanker Very Large Crude Carrier (VLLC).
Adi dimintai keterangan selama tiga jam, sejak pukul 09.45 WIB hingga pukul 12.45 WIB di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Senin.
Usai diperiksa, Adi tidak mau memberi keterangan kepada wartawan.
Ia hanya membenarkan kedatangannya juga untuk menyerahkan beberapa dokumen kepada KPK terkait penjualan dua unit VLCC yang dilakukan Pertamina pada 2004 itu.
"Cuma sebentar saja. Maaf saya tidak bisa kasih info," kata Adi.
KPK telah menyelidiki dugaan korupsi pada penjualan dua unit VLCC oleh Pertamina sejak 2004.
Dari hasil penyelidikan sementara berdasarkan keterangan 26 orang, yang terdiri atas 22 orang dari PT Pertamina dan empat orang luar Pertamina, KPK baru menemukan bahwa Direksi PT Pertamina telah mengabaikan Surat Dirjen Anggaran tertanggal 11 November 2003 bahwa pelepasan aset PT Pertamina harus seijin Menteri Keuangan.
Selain itu, KPK juga menemukan bahwa Direksi PT Pertamina telah menunjuk langsung Goldman Sachs sebagai penasehat keuangan dan perencana penjualan dua unit kapal tanker VLCC tanpa proses tender atau pelelangan.
Direksi PT Pertamina, menurut KPK, telah mengabaikan konflik kepentingan antara Goldman Sachs, dan pembeli tanker, Frontline, karena Goldman Sachs ternyata memiliki saham di Frontline.
Penawaran dari Frontline itu juga dilakukan secara tertutup dan diterima oleh Pertamina tidak di hadapan notaris.
Namun, KPK masih kesulitan untuk menentukan kerugian negara dalam kasus penjulalan VLCC, karena belum didapatkannya harga pembanding untuk kedua VLCC itu.
Saat ini, KPK masih menunggu keterangan dari Hyundai Heavy Industries (HHI) Korea Selatan, untuk mengetahui harga pembanding tersebut.
Pada November 2002, PT Pertamina (Persero), yang saat itu dipimpin Baihaki Hakim, memesan dua unit VLCC dari Hyundai Heavy Industries di Ulsan Korea Selatan seharga 65 juta dolar AS per unit.
Namun, dengan alasan kesulitan likuiditas, direksi baru Pertamina di bawah pimpinan Arifin Nawawi melepas dua kapal itu seharga 184 juta dolar AS pada April 2004.
KPPU pada Maret 2005, memutuskan PTB Pertamina (Persero) melanggar sejumlah pasal dalam UUB Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam penjualan dua unit VLCC.
KPPU memutuskan, harga jual itu jauh lebih rendah dari harga pasar yang saat itu (Juli 2005) seharga 102 juta dolar AS-110 juta dolar AS per unit atau 204 juta dolar AS-240 juta dolar AS untuk dua kapal. Akibatnya negara kehilangan dana sebesar 20 juta dolar AS-50 juta dolar AS atau sekitar Rp180 miliar hingg Rp504 miliar.
Namun Pertamina mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan KPPUB itu. Keberatan itu diterima oleh majelis hakim PNB Jakarta Pusat yang menyatakan tender pelepasan dua kapal itu telah sesuai ketentuan. Lantas, KPPU mengajukan kasasi ke MA.
Pada 29 November 2005, MA memenangkan KPPU dalam sengketa perdata kasus itu dengan Pertamina. (*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007