"Kementerian dalam negeri tidak bisa melindungi gereja-gereja kami. Ini saatnya bagi kami untuk melindungi diri kami sendiri," kata salah satu pengunjuk rasa Koptik di depan pintu gerbang gereja.
Pengunjuk rasa lain mengatakan pengamanan di gereja ini dikenal longgar, dengan para penjaga yang dilaporkan "bermain internet sepanjang hari".
"Jika kami memiliki anjing, itu bisa lebih baik. Tidak satu pun yang bisa keluar dengan aman, tidak satu pun. Tidak tahu malu kementerian dalam negeri dan polisi," kata pengunjuk rasa.
Yang lainnya meneriakkan "rakyat menuntut jatuhnya rezim", seruan seperti saat pemberontakan 2011 yang membantu mengakhiri kekuasaan 30 tahun Hosni Mubarak.
Presiden Sisi mengutuk serangan itu, menyatakan tiga hari berkabung dan menjanjikan keadilan bagi keluarga korban.
Berbicara kepada Al Jazeera, Mohamad Elmasry, dari Institut Doha untuk Studi Pascasarjana mengatakan "(itu) merupakan kelanjutan dari siklus kekerasan yang terus berlanjut sejak kudeta militer Mesir Juli 2013".
"Sejak kudeta, pemerintah Mesir dan 'teroris' yang berafiliasi dengan ISIL bertukar serangan. Pemerintah telah memasukkan jaringan 'terorisme' besar yang tidak perlu, melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk beberapa pembunuhan massal, terhadap anggota moderat oposisi politik," katanya kepada Al Jazeera.
"Mungkin, lebih dari apa pun, serangan hari ini menunjukkan sejauh mana Sisi, yang berkuasa sebagian besar karena platform keamanan, telah gagal mewujudkan salah satu janji kampanye terpentingnya," kata Elmasry.
Penerjemah: Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016