Seoul (ANTARA News) - Puluhan ribu warga Korea Selatan merayakan pemakzulan Presiden Park Geun-Hye dalam aksi yang digelar di Seoul pada Sabtu (10/12), namun di tengah euforia itu masih tersisa kemarahan dan kecemasan terhadap prospek ketidakpastian politik yang lebih panjang.
Untuk tujuh pekan berturut-turut, para pengunjuk rasa berkumpul di jalanan ibu kota, dalam suasana yang meriah, setelah anggota parlemen pada Jumat memilih untuk memakzulkan Park karena terlibat skandal korupsi.
Meski langkah tersebut membuat Park kehilangan kekuasaan substansialnya, para aktivis mengatakan bahwa mereka berupaya untuk terus menekan. Proses pemakzulan masih membutuhkan persetujuan akhir dari Mahkamah Konstitusi, sebuah proses yang bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Banyak orang yang bersikeras bahwa presiden tersebut harus segera mengundurkan diri dan menghadapi tuntutan pidana.
"Kami masil lapar" teriak kerumunan di Seoul Gwanghwamun, mereka juga menyanyikan bersama-sama lagu Natal yang liriknya diubah menjadi "Setelah dia keluar, akankah menjadi Merry Christmas."
Para penyelenggara unjuk rasa tersebut menyatakan sekitar 600.000 orang yang ikut dalam aksi itu, berkurang dari pekan sebelumnya yang melewati angka satu juta.
Saat ini, kekuasaan Park ditangguhkan dan ia tetap menyandang gelar presiden.
Meski demikian, Park masih memiliki pendukung, banyak dari mereka adalah orang-orang tua yang menjadi pengagum ayahnya, mendiang diktaktor militer Park Chung-Hee.
Sementara itu, dalam sebuah aksi pada Sabtu, para pendukung Park melambai-lambaikan bendera nasional, dan membawa spanduk bertuliskan "Presiden Park, Jangan menangis" dan "Batalkan Pemakzulan".
Park dimakzulkan karena sejumlah tuduhan pelanggaran konstitusi dan pidana, mulai dari kegagalan untuk melindungi kehidupan masyarakat, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan, demikian dikutip dari laporan AFP. (hs)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016