Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi III DPR,m Trimedya Pandjaitan, mengatakan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) perlu direvisi untuk mengurangi wewenang MK yang dirasakannya terlalu luas. "Yang perlu dilakukan adalah revisi UU 24 Tahun 2004," katanya di Jakarta, Senin. Menurut Trimedya, pandangan sejumlah kalangan yang menanggap wewenang MK, terutama dalam hal pembatalan UU, terlalu luas adalah pendapat yang wajar. "Ada benarnya kalau dikatakan wewenang MK terlalu luas," kata Trimedya. Hal itu disebabkan sembilan hakim konstitusi yang tergabung dalam MK dapat menyatakan bahwa UU yang merupakan kehendak mayoritas anggota DPR bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan pada beberapa kasus, katanya, MK bisa menyatakan UU tersebut batal demi hukum. "UU kan kerja keras ratusan anggota Dewan yang dikerjakan dalam hitungan bulan," katanya. Kewenangan MK yang luas itu mengakibatkan sejumlah pihak menganggap MK sebagai lembaga tertinggi (super body) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Padahal, katanya, dalam perubahan UUD 1945 justru telah dinyatakan tidak ada lembaga tertinggi negara. Terkait revisi UU MK, Trimedya mengatakan belum menemukan titik berat materi revisi secara umum. Namun demikian, wewenang MK dalam pembatalan UU dapat dijadikan salah satu fokus perubahan tersebut. Belum ditemukannya titik berat materi revisi secara umum, katanya, disebabkan keberadaan MK bagaimanapun sangat diperlukan, terutama untuk menyelesaikan masalah yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU MK. Amanat yang hanya dapat diselesaikan oleh MK itu antara lain adalah perselisihan hasil pemilu, sengketa kewenangan antarlembaga negara, dan pertimbangan tentang wacana 'impeachment' pada presiden dan wakil presiden. Menyikapi pernyataan Ketua MK, Jimmy Asshiddiqie yang menegaskan bahwa putusan MK selalu benar, Trimedya mengatakan hal itu ada benarnya, terutama apabila diterapkan dalam konteks kenegaraan. Putusan MK yang selalu benar itu harus dikaitkan dengan keberadaan MK sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir. Dicontohkannya, putusan MK tentang sengketa kewenangan antar lembaga negara harus dikonstruksikan sebagai putusan yang final dan benar. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga stabilitas penyelenggaraan negara.. "Kalau tidak begitu bisa berlarut-larut," katanya. Sebelumnya, Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan semua putusan MK selalu benar, meskipun muncul berbagai opini terhadap putusan tersebut. "Sepanjang dalam praktek bernegara, putusan MK harus dikonstruksikan selalu benar," katanya. Jimly mengatakan kontribusi warga negara yang bisa memengaruhi putusan MK dapat diberikan pada saat proses pengujian UU dilaksanakan. Pada saat itu, katanya, semua pihak dapat berargumen sesuai dengan keyakinan dan pemikirannya terkait dengan produk hukum yang sedang diuji. Para pihak, lanjut Jimly, juga berhak mengajukan ahli untuk mendukung dalil mereka. Terkait mekanisme kontrol terhadap MK, Jimly mengatakan pada dasarnya hakim konstitusi bisa diberhentikan jika telah melanggar kode etik. Pemberhentian itu diatur dalam UU MK, yaitu dengan membentuk mejelis kehormatan yang berwenang menangani pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi. (*)

Copyright © ANTARA 2007